BAB I
PENDAHULUAN
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Dalam mewujudkan kompetensi, seseorang perlu melakukan langkah-langkah yang memungkinkan yang bersangkutan mengambil jalan yang paling taktis. Jalan taktis tersebut berguna untuk melakukan terobosan penting agar kesuksesan menjadi nyata. Menurut Stoltz (2000:8), suksesnya pekerjaan dan hidup terutama ditentukan oleh Adversity Quotient (AQ).
Dikatakan juga bahwa AQ berakar pada bagaimana kita merasakan dan menghubungkan dengan tantangan-tantangan. Orang yang memiliki AQ lebih tinggi tidak menyalahkan pihak lain atas kemunduran yang terjadi dan mereka bertanggung jawab untuk menyelesaikan masalah. (Welles, 2000:2). Stoltz membagi tiga kelompok manusia yang diibaratkan sedang dalam perjalanan mendaki gunung yaitu pertama, high-AQ dinamakan Climbers, kelompok yang suka mencari tantangan . Yang kedua, low-AQ dinamakan Quitters, kelompok yang melarikan diri dari tantangan, dan yang ketiga AQ sedang/moderat (campers) (Maragoni, 2001:1).
AQ mempunyai tiga bentuk (Stoltz, 2000:9) yaitu (1) AQ sebagai suatu kerangka kerja konseptual yang baru untuk memahami dan meningkatkan semua jenis kesuksesan, (2) merupakan suatu ukuran untuk mengetahui respon terhadap kesulitan, dan (3) merupakan serangkaian peralatan dasar yang memiliki dasar ilmiah untuk memperbaiki respon terhadap kesulitan.
Agar kesuksesan menjadi nyata maka Stoltz (2003:9) berpendapat bahwa gabungan dari ketiga unsur di atas yaitu pengetahuan baru, tolak ukur, dan peralatan yang praktis merupakan sebuah kesatuan yang lengkap untuk memahami dan memperbaiki komponen dasar meraih sukses. Di banyak perusahaan dalam berbagai bidang industri termasuk Abbot Labs, Kaibab National Forest, Boehringer Ingelheim, W.L. Gore & Associates (Pembuat Goe-Tex), Delloite & Touche LLP, Minessota Power, ADC Telecommunications, dan U.S West, Stoltz sebagai tokoh AQ bersama rekanrekannya yang lain, telah membuktikan bahwa mereka yang memiliki AQ lebih tinggi menikmati serangkian manfaat termasuk kinerja, produktifitasm kreatifitas, kesehatan, ketekunan, daya tahan, dan vitalitas yang lebih besar daripada rekan-rekan mereka yang AQ-nya rendah.
Di Indonesia penelitian tentang AQ diantaranya digunakan pada penelitian\ mengenai Perbandingan Derajat Adversity Quotient antara Perawat ICU dengan Perawat Rawat Inap di RS “X” di Bandung, Studi Korelasional antara Kecerdasan Adversity dan Motivasi Berprestasi dengan Kinerja Kepala Sekolah di BPK Penabur Jakarta, dan pada penelitian tentang Pengaruh Tingkat AQ terhadap Orientasi Karir di PT Danzas Surabaya dan Jakarta.
Stoltz beranggapan bahwa IQ dan EQ tidaklah cukup dalam meramalkan kesuksesan seseorang. Stoltz mengelompokkan individu menjadi tiga : quitter, camper, dan climber. Penggunaan istilah ini memang berdasarkan pada sebuah kisah ketika para pendaki gunung yang hendak menaklukan puncak Everest. Ia melihat ada pendaki yang yang menyerah sebelum pendakian selesai, ada yang merasa cukup puas sampai pada ketinggian tertentu, dan ada pula yang benar-benar berkeinginan menaklukan puncak tersebut. Itulah kemudian ia mengistilahkan orang yang berhenti di tegah jalan sebelum usai sebagai quitter, kemudian mereka yang merasa puas berada pada posisi tertentu sebagai camper, sedangkan yang ingin terus meraih kesuksesan ia sebut climber.
BAB I
PEMBAHASAN
A. DEFINISI KECERDASAN ADVERSITY
Secara umum, kecerdasan dapat dipahami pada dua tingkat. Pertama, kecerdasan sebagai suatu kemampuan untuk memahami informasi yang membentuk pengetahuan dan kesadaran. Kedua, kecerdasan sebagai sebuah kemampuan untuk memproses informasi sehingga masalah-masalah yang dihadapi oleh seseorang dapat segera dipecahkan (problem solved), dan dengan demikian pengetahuan pun menjadi bertambah (Fanani, 2005).
Berdasarkan dua pengertian di atas, dapat dipahami dengan mudah bahwa kecerdasan merupakan pemandu (guide) bagi individu untuk mencapai berbagai sasaran dalam hidup yang dijalaninya secara efektif dan efisien. Dengan kata lain, orang yang lebih cerdas, akan mampu memilih strategi-strategi pencapaian sasaran yang jauh lebih baik daripada orang yang kurang cerdas. Artinya, orang cerdas sepantasnya lebih sukses dibanding orang yang kurang cerdas (Fanani, 2005).
Konsep tentang kecerdasan adversity atau adversity intelligence (AI) dibangun berdasarkan hasil studi empirik yang dilakukan oleh banyak ilmuwan serta lebih dari lima ratus kajian di seluruh dunia, dengan memanfaatkan tiga disiplin ilmu pengetahuan, yaitu psikologi kognitif, psikoneuroimunologi, dan neurofisiologi. Kecerdasan adversity memasukkan dua komponen penting dari setiap konsep praktis, yaitu teori ilmiah dan aplikasinya dalam dunia nyata. Konsep kecerdasan adversity pertama kali digagas oleh Paul G. Stoltz (Jaffar, 2003).
Menurut Stoltz (2005), pengertian kecerdasan adversity tertuang ke dalam tiga bentuk, yaitu: pertama, kecerdasan adversity sebagai suatu kerangka kerja konseptual yang baru yang digunakan untuk memahami dan meningkatkan semua segi kesuksesan. Kedua, kecerdasan adversity sebagai suatu ukuran untuk mengetahui reaksi seseorang terhadap kesulitan yang dihadapinya. Ketiga, kecerdasan adversity sebagai seperangkat peralatan yang memiliki landasan ilmiah untuk merekonstruksi reaksi terhadap kesulitan
hidup. Agar kesuksesan menjadi nyata, maka Stoltz (Kusuma, 2004) berpendapat bahwa kombinasi dari ketiga unsur tersebut yaitu pengetahuan baru, tolok ukur, dan peralatan yang praktis merupakan sebuah kesatuan yang lengkap untuk memahami dan memperbaiki komponen dasar dalam meraih sukses.
Berbeda dengan Stoltz, Mortel (Kusuma, 2004) berpandangan bahwa makin besar harapan seseorang terhadap dirinya sendiri, maka makin kuat pula tekadnya untuk meraih kesuksesan dan keberhasilan dalam hidup. Maxwell (Kusuma, 2004) mengatakan bahwa ketekunan yang dimiliki oleh seseorang akan memberinya daya tahan. Daya tahan tersebut akan membuka kesempatan baginya untuk meraih kesuksesan dalam hidup.
Secara garis besar konsep kecerdasan adversity menawarkan beberapa manfaat yang dapat diperoleh, yaitu:
1. kecerdasan adversity merupakan indikasi atau petunjuk tentang seberapa tabah seseorang dalam menghadapi sebuah kemalangan
2. kecerdasan adversity memperkirakan tentang seberapa besar kapabilitas seseorang dalam menghadapi setiap kesulitan hidup dan ketidakmampuannya dalam menghadapi kesulitan
3. kecerdasan adversity memperkirakan siapa yang dapat melampaui harapan, kinerja, serta potensinya, dan siapa yang tidak
4. kecerdasan adversity dapat memperkirakan siapa yang putus asa dalam menghadapi kesulitan dan siapa yang akan bertahan (Stoltz, 2005).
Stoltz (2005) menambahkan bahwa individu yang memiliki kemampuan untuk bertahan dan terus berjuang dengan gigih ketika dihadapkan pada suatu problematika hidup, penuh motivasi, antusiasme, dorongan, ambisi, semangat, serta kegigihan yang tinggi, dipandang sebagai figur yang memiliki kecerdasan adversity yang tinggi, sedangkan individu yang mudah menyerah, pasrah begitu saja pada takdir, pesimistik dan memiliki kecenderungan untuk senantiasa bersikap negatif, dapat dikatakan sebagai individu yang memiliki tingkat kecerdasan adversity yang rendah. Werner (Stoltz, 2005), dengan didasarkan pada hasil penelitiannya mengemukakan bahwa anak yang ulet adalah seorang perencana, orang yang mampu menyelesaikan masalahnya dan orang yang
mampu memanfaatkan peluang. Orang yang mengubah kegagalannya menjadi batu loncatan mampu memandang kekeliruan atau pengalaman negatifnya sebagai bagian dari hidupnya, belajar darinya dan kemudian maju terus.
B. PENGERTIAN ADVERSITY QUOTIENT (AQ)
AQ adalah kecerdasan untuk mengatasi kesulitan. “AQ merupakan faktor yang dapat menentukan bagaimana, jadi atau tidaknya, serta sejauh mana sikap, kemampuan dan kinerja Anda terwujud di dunia,” Menurut Stoltz, orang yang memiliki AQ tinggi akan lebih mampu mewujudkan cita-citanya dibandingkan orang yang AQ-nya lebih rendah.
Untuk memberikan gambaran, Stoltz meminjam terminologi para pendaki gunung. Dalam hal ini, Stoltz membagi para pendaki gunung menjadi tiga bagian:
Profil Quitter, Camper, dan Climber
Tabel 1
Profil Ciri, Deskripsi, dan Karakteristik
1. Quitter adalah para pekerja yang sekadar untuk bertahan hidup). Mereka ini gampang putus asa dan menyerah di tengah jalan.
Menolak untuk mendaki lebih tinggi
Lagi
Gaya hidupnya tidak menyenangkan
atau datar dan tidak “lengkap”
Bekerja sekedar cukup untuk hidup
Cenderung menghindari tantangan
berat yang muncul dari komitmen yang
sesungguhnya
Jarang sekali memiliki persahabatan
yang sejati
Dalam menghadapi perubahan
mereka cenderung melawan atau lari
dan cenderung menolak dan
menyabot perubahan
Terampil dalam menggunakan katakata
yang sifatnya membatasi, seperti
“tidak mau”, “mustahil”, “ini konyol”n
dan sebagainya.
Kemampuannya kecilatau bahkan
tidak ada sama sekali; mereka tidak
memiliki visi dan keyakinan akan masa
depan, konribusinya sangat kecil.
2. Camber (berkemah di tengah perjalanan) Para camper lebih baik, karena biasanya mereka berani melakukan pekerjaan yang berisiko, tetapi tetap mengambil risiko yang terukur dan aman. “Ngapain capek-capek” atau“segini juga udah cukup” adalah moto para campers. Orang-orang ini sekurang-kurangnya sudah merasakan tantangan, dan selangkah lebih maju dari para quitters. Sayangnya banyak potensi diri yang tidak teraktualisasikan, dan yang jelas pendakian itu sebenarnya belum selesai. Mereka mau untuk mendaki, meskipun
akan “berhenti” di pos tertentu, dan
merasa cukup sampai disitu.
Mereka cukup puas telah mencapai
suatu tahapan tertentu (satisficer)
Masih memiliki sejumlah inisiatif,
sedikit semangat, dan beberapa usaha.
Mengorbankan kemampuan individunya untuk mendapatkan kepuasan, dan mampu membina hubungan dengan para camper
Lainnya
Menahan diri terhadap perubahan, meskipun kadang tidak menyukai perubahan besar karena mereka merasa nyaman dengan kondisi yang ada
Mereka menggunakan bahasa dan kata-kata yang kompromistis,misalnya, “ini cukup bagus”, atau “kita cukuplah sampai di sini saja”
Prestasi mereka tidak tinggi, dan kontribusinya tidak besar juga
Meskipun telah melalui berbagai rintangan, namun mereka akan berhenti juga pada suatu tempat dan mereka “berkemah” di situ
3. Climber yakni mereka, yang dengan segala keberaniannya menghadapi risiko, akan menuntaskan pekerjaannya. Mereka mampu menikmati proses menuju keberhasilan, walau mereka tahu bahwa akan banyak rintangan dan kesulitan yang menghadang. Namun, di balik kesulitan itu ia akan mendapatkan banyak kemudahan.”Karena sesungguhnya sesudah kesulitan itu ada kemudahan”
Mereka membaktikan dirinya untuk
terus “mendaki”, mereka adalah pemikir yang selalu memikirkan kemungkinan-kemungkinan
Hidupnya “lengkap” karena telah melewati dan mengalami semua tahapan sebelumnya. Mereka menyadari bahwa akan banyak imbalan yang diperoleh dalam jangka panjang melalui “langkah-langkah kecil” yang sedang dilewatinya
Menyambut baik tantangan, memotivasi diri, memiliki semangat tinggi, dan berjuang mendapatkan yang terbaik dalam hidup; mereka cenderung membuat segala sesuatu terwujud
Tidak takut menjelajahi potensi-potensi
tanpa batas yang ada di antara dua manusia; memahami dan menyambut
baik risiko menyakitkan yang ditimbulkan karena bersedia menerima kritik
Menyambut baik setiap perubahan, bahkan ikut mendorong setiap perubahan tersebut ke arah yang positif
Bahasa yang digunakan adalah bahasa dan kata-kata yang penuh dengan kemungkinan-kemungkinan; mereka berbicara tentang apa yang bisa dikerjakan dan cara mengerjakannya; mereka berbicara tentang tindakan, dan tidak sabar
dengan kata-kata yang tidak didukung
dengan perbuatan
Memberikan kontribusi yang cukup besar karena bisa mewujudkan potensi yang ada pada dirinya
Mereka tidak asing dengan situasi yang sulit karena kesulitan merupakan bagian dari hidup
Dalam konteks ini, para climber dianggap memiliki AQ tinggi. Dengan kata lain, AQ membedakan antara para climber, camper, dan quitter . jawaban luar biasa dari pencipta lampu pijar (Thomas Alfa Edison) itu menjadi salah satu contoh ekstrem seorang climber (pendaki)–yang dianggap memiliki kecerdasan mengatasi kesulitan (adversity quotient, AQ) tinggi. Terminologi AQ memang tidak sepopuler kecerdasan emosi (emotional quotient) milik Daniel Goleman, kecerdasan finansial (financial quotient) milik Robert T. Kiyosaki, atau kecerdasan eksekusi (execution quotient) karya Stephen R. Covey.AQ ternyata bukan sekadar anugerah yang bersifat given. AQ ternyata bisa dipelajari. Dengan latihan-latihan tertentu, setiap orang bisa diberi pelatihan untuk meningkatkan level AQ-nya.
Para climber, Menurut Maxwell (Kusuma, 2004) setidaknya ada tujuh kapasitas yang dibutuhkan untuk mengubah kegagalan menjadi batu loncatan, yaitu:
1. para peraih prestasi pantang menyerah dan tidak pernah jemu untuk terus mencoba karena tidak mendasarkan harga dirinya pada prestasi
2. para peraih prestasi memandang kegagalan sebagai sesuatu yang nisbi sifatnya
3. para peraih prestasi memandang kegagalan-kegagalan sebagai insiden-insiden tersendiri
4. para peraih prestasi memiliki ekspektasi yang realistis
5. para peraih prestasi memfokuskan perhatian pada kekuatan-kekuatannya
6. para peraih prestasi menggunakan multi pendekatan dalam meraih prestasi
7. para peraih prestasi mudah bangkit kembali.
Stoltz (2005) mengajukan beberapa faktor yang diperlukan untuk mengubah kegagalan menjadi suatu peluang yaitu daya saing, produktivitas, kreativitas, motivasi, mengambil risiko, ketekunan, belajar, merangkul perubahan, dan keuletan. Ditambahkan juga bahwa dalam menghadapi setiap kesulitan, kesedihan serta kegagalan hidup maka yang diperlukan adalah sikap tahan banting dan keuletan .
Pannyavaro (2006) menyatakan bahwa kesulitan hidup jika dihadapi, disadari, akan menjadi sesuatu yang biasa saja. Karena sejatinya kesulitan merupakan sebuah perubahan, perubahan dari sesuatu yang menyenangkan, membahagiakan, menjadi sesuatu yang tidak menyenangkan, itu pulalah yang dinamakan sebagai penderitaan. Padahal jika dilihat, sebenarnya hal tersebut hanyalah sebuah proses perubahan semata.
Mortel (Kusuma, 2004) mengemukakan bahwa kegagalan adalah suatu proses yang perlu dihargai. Mortel juga berpendapat bahwa kegagalan hanyalah suatu pengalaman yang akan menghantar seseorang untuk mencoba berusaha lagi dengan pendekatan yang berbeda. Menurut Lasmono (Jaffar, 2003), untuk menciptakan perubahan dalam hidup seseorang harus bertekad untuk terus mendaki melawan rintangan. Untuk itu individu harus mampu mengembangkan kecerdasan adversity yang tinggi dan mengenali tiga tahap adversity yang disusun dengan model piramid mulai dari dasar sebagai berikut:
1. Societal Adversity: Ketidakjelasan tentang masa depan, kecemasan tentang keamanan ekonomi, meningkatnya kriminalitas, kerusakan lingkungan, bencana alam, serta krisis moral.
2. Workplace Adversity: Peningkatan ketajaman terhadap pekerjaan, pengangguran dan ketidakjelasan mengenai apa yang akan dihadapi.
3. Individual Adversity: Individu dapat memulai perubahan dan pengendalian.
C. DIMENSI ADVERSITY QUOTIENT (AQ)
Dimensi AQ dapat diringkas dalam kata CO2RE yaitu:
1. C adalah Control, seberapa besar control yang Anda rasakan saat Anda dihadapkan
pada persoalan yang sulit, bermusuhan dan berlawanan?
2. O2 adalah Origin dan Ownership. Siapa atau apa yang menjadi asal muasal suatu kesulitan? Dan sejauh mana Anda berperan memunculkan kesulitan?
3. R adalah Reach. Seberapa jauh suatu kesulitan akan merembes ke wilayah kehidupan Anda yang lain?
4. E adalah Endurance. Berapa lama kesulitan akan berlangsung? Berapa lama penyebab kesulitan akan berlangsung?
D. MENGEMBANGKAN ADVERSITY QUOTIENT (AQ)
Cara mengembangkan dan menerapkan AQ dapat diringkas dalam kata LEAD yaitu:
1. L adalah Listened (dengar) respon Anda dan temukan sesuatu yang salah
2. E adalah Explored (gali) asal dan peran Anda dalam persoalan ini
3. A adalah Analized (analisalah) fakta-fakta dan temukan beberapa factor yang mendukung Anda
4. D= Do (lakukan) sesuatu tindakan nyata.
E. ADVERSITY QUOTIENT DI SEKOLAH
Paul Stoltz dalam bukunya menulis, adversity Quotient di dunia pendidikan akan membuat guru memiliki dan mengembangkan daya tahan dan keuletan dalam hal menyampaikan pengetahuan yang bermakna dan bertujuan.”
Sungguh seorang guru dengan kecerdasan adversitas yang teruji akan mampu menghadapi segala dinamika yang terjadi dengan arifnya, tidak hanya dinamika di profesinya, bahkan juga dalam kehidupan pribadi. Ini pada gilirannya akan menjadi ‘virus’ yang menulari dan mengukir karakter para pembelajarannya.
F. ILMU PENGETAHUAN PEMBENTUK AQ
a. Psikoneuroimunologi
Penelitian akhir-akhir ini di bidang psikoneuroimunologimembuktikan bahwa ada kaitan langsung dan dapat diukur antara apa yang seseorang pikirkan
dan rasakan dengan apa yang terjadi di dalam tubuh orang tersebut.
b. Neurofisiologi
Menurut Dr. Mark Nuwer, kepala neurofisiologi di UCLA Medical Centers dalam Stoltz (2000:109), mengatakan bahwa proses belajar berlangsung di wilayah sadar bagian luar yaitu cerebral cortex. Lama kelamaan jika pola pikiran atau perilaku tersebut diulang maka kegiatannya akan berpindah ke wilayah otak bawah sadar yang bersifat otomatis, yaitu basal ganglia.
Jadi, semakin sering seseorang mengulangi pikiran atau tindakan yang destruktif, maka pikiran atau tindakan itu juga akan semakin dalam, semakin cepat, dan semakin otomatis. Begitu pun sebaliknya, semakin sering seseorang mengulangi pikiran atau tindakan yang konstruktif, maka pikiran atau tindakan itu juga akan semakin dalam, cepat, dan otomatis. Untuk merubah kebiasaan yang buruk atau destruktif, misalnya AQ rendah, maka seseorang harus mulai di wilayah sadar otak dan memulai jalur saraf baru. Perubahan dapat bersifat segera, dan pola-pola lama yang destruktif akan beratrofi dan lenyap karena tidak digunakan.
c. Psikologi Kognitif
Bagian yang membahas tentang teori ketidakberdayaan yang dipelajari, atribusi, kemampuan menghadapi kesulitan, keuletan, dan efektifitas diri/pengendalian.
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Adversity Quotient (AQ) adalah kecerdasan untuk mengatasi kesulitan. “AQ merupakan faktor yang dapat menentukan bagaimana, jadi atau tidaknya, serta sejauh mana sikap, kemampuan dan kinerja Anda terwujud di dunia. Menurut Stoltz, orang yang memiliki AQ tinggi akan lebih mampu mewujudkan cita-citanya dibandingkan orang yang AQ-nya lebih rendah. Stoltz membagi tiga kelompok manusia yang diibaratkan sedang dalam perjalanan mendaki gunung yaitu pertama, high-AQ dinamakan Climbers, kelompok yang suka mencari tantangan . Yang kedua, low-AQ dinamakan Quitters, kelompok yang melarikan diri dari tantangan, dan yang ketiga AQ sedang/moderat (campers) (Maragoni, 2001:1).
AQ mempunyai tiga bentuk (Stoltz, 2000:9) yaitu (1) AQ sebagai suatu kerangka kerja konseptual yang baru untuk memahami dan meningkatkan semua jenis kesuksesan, (2) merupakan suatu ukuran untuk mengetahui respon terhadap kesulitan, dan (3) merupakan serangkaian peralatan dasar yang memiliki dasar ilmiah untuk memperbaiki respon terhadap kesulitan. Agar kesuksesan menjadi nyata maka Stoltz (2003:9) berpendapat bahwa gabungan dari ketiga unsur di atas yaitu pengetahuan baru, tolak ukur, dan peralatan yang praktis merupakan sebuah kesatuan yang lengkap untuk memahami dan memperbaiki komponen dasar meraih sukses.
B. Saran
Semoga dengan adanya makalah ini dapat membantu mahasiswa ataupun masyarakat lainnya dalam mengatasi kesulitan kehidupannya sehari-hari. Dengan begitu para pembaca diharapkan mampu dalam memahami makalah ini dengan judul Adversity Quotient (AQ), Dimana makalah ini dapat membantu anda-anda sejauh mana kecerdasan anda dalam mengatasi kesulitan baik dalam belajar, karier, pribadi dan sosial.
DAFTAR BACAAN
Ir.Agus Nggermanto, 2001,”Quantum Quetient (kecerdasan Quantum) Cara praktik melejitkan IQ,EQ dan SQ yang harmonis” . PT.Nuansa, Bandung.
The URI to TrackBack this entry is: http://iisrasjeed.blogsome.com/2007/04/21/adversity-quotient/trackback/
M Ronie Dani, 2006,”The power of Emotional & Adversity Quotient For Teacher”. PT. Mizan Publika, Jakarta Selatan.
Pearson Education, Inc. Republika Online. 2006. Cerdas Menghadapi Tantangan.
http://www.republika.co.id.htm (diakses 15 Januari 2007)
Spektra Virtual Library. 2006. Library Directories. http://www.Union Catalog-Library Collection-Directories.htm (diakses 15 Januari 2007)
Stoltz, P.G 2000. Keperawatan Jiwa. Edisi-5. Jakarta. EGC Suara Pembaruan. 2006. Kecerdasan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar