Sabtu, 25 Februari 2012

Konsep Tentang Remaja

BAB I
PENDAHULUAN

          Selama rentang kehidupan manusia, telah terjadi banyak pertumbuhan dan perkembangan dari mulai lahir sampai dengan meninggal dunia. Dari semua fase perkembangan manusia tersebut, salah satu yang paling penting dan yang paling menjadi pusat perhatian adalah masa remaja. Para orang tua, pendidik dan para tenaga profesional lainnya mencoba untuk menerangkan dan melakukan pendekatanyang efektif untuk menangani remaja ini.
 Remaja adalah masa transisi dari periode anak ke dewasa. Secara psikologis kedewasaan adalah keadaan dimana sudah ada ciri – ciri psikologis tertentu pada seseorang. Dalam pembagian tahap perkembangan manusia, masa remaja menduduki tahap progesif.
Sejalan dengan perkembangan jasmani dan rohaninya maka agama pada remaja turut dipengaruhi perkembangn itu. Penghayatan pada remaja terhadap ajaran agama dan tindak keagamaan yang tampak pada para remaja banyak berkaitan dengan factor – factor perkembangan tersebut.










BAB II
PEMBAHASAN
TINJAUAN TEORI

1.    KONSEP TENTANG REMAJA
    Dibandingkan dengan sejarah umat manusia, pengakuan terhadap adanya kurun usia tertentu yang disebut “remaja” relatif masih sangat baru. Adams, G,R dan Gullotta T. (1983) menyatakan bahwa dinegara-negara Barat dan bagian-bagian lain didunia seperti di Arab bahwa konsep tentang anak sebagai suatu hal yang berbeda dari orang dewasa, belum dikenal sampai dengan abad pertengahan. Begitu anak dapat berfungsi sendiri tampa bantuan orang tua, sering dijadikan objek saja.
    Tetapi jika ditempat lain, menjadi anak sebagai objek dengan sewenang-wenang masih terjadi sampai sekarang, menurut Adams & Gullotta di Eropa konsep tentang anak mulai dikenal pada abad ke-13, hanya saja sampai abad ke-19 anak masih dianggap sebagai “tanah liat” yang dapat dibentuk sesuka hati orang tua. Misalnya, dalam tahun 1847 seseorang ahli pendidikan bernama Thomas Dick menulis bahwa sejak umur 10 atau 12 tahun orang tua harus menunjukkan otoritasnya, bukan dengan cara memukulnya tetapi dengan cara menunjukkan bahwa kemauan orang tua lebih penting dan lebih harus dituruti dari pada kemauan anak sendiri. Kalau anak ingin sesuatu dan orang tua bilang “jangan”, maka orang tua harus mencegah keinginan anak itu, setidaknya untuk jangka waktu tertentu. Baru kemudian keinginan anak dipenuhi sebagai hadiah karena anak sudah patuh.

2.    REMAJA DALAM RANGKA PERKEMBANGAN JIWA MANUSIA
Arisoteles adalah seorang filsuf yang membedakan matter (wujud lahiriah) dan form (isi kejiwaan). Setiap matter, menurut Aristoteles selalu mengandung form didalamnya, tidak peduli apakah itu biji jagung atau manusia. Hanya Tuhan saja yang merupakan form tampa matter.
Tetapi manusia berbeda dari makhluk-makhluk lainnya mempunyai form yang khusus. Ia mempunyai fungsi mengingat (fungsi  mnemic) dan ia mempunyai fungsi realisasi diri (dinamika entelachi) yang menyebabkan manusia bisa berkembang kearah yang dikehendakinya sendiri (Sarwono:1968). Walaupun demikian, Aristoteles tetap beranggapan bahwa hubungan badan (matter) dan jiwa (form) sangat erat, keduanya saling berpengaruh dan erkembang bersama-sama.
Tahap-tahap perkembangan jiwa menurut Aristoteles, yaitu:
    0-7 tahun : masa kanak-kanak (infancy)
    7-14 tahun: masa kanak-kanak (boyhood)
    14-21 tahun: masa dewasa muda (young manhood)
Menurut pendapat Aristoteles jiwa remaja tentang sifat-sifat orang muda yang juga masih dianggap benar sampai saat ini, yaitu:
Orang-orang  muda punya hasrat yang sangat kuat dan mereka cenderung untuk memenuhi hasrat-hasrat itu semuanya tampa membeda-bedakannya  dari hasrat-hasrat yang ada pada tubuh mereka, hasrat seksuallah yang paling mendesak dan dalam hal inilah mereka menunjukkan hilangnya kontrol diri.
Kontrol diri pada manusia menurut Aristoteles dilakukan oleh ratio (akal), yaitu fungsi mnemic. Ratio inilah yang menentukan arah perkembangan manusia.
Akan tetapi pendapat Aristoteles ini tidak didukung oleh filsuf Prancis J.J Rousseau yang hidup hampir 20 abad kemudian (1712-1778). Rousseau juga disebut penganut paham Romantic Naturalism, menyatakan bahwa yang terpenting dalam perkembangan perasaannya. Perasaan itu harus dibiarkan berkembang bebas sesuai dengan pembawaan alam (natural development) yang berbeda dari satu individu ke individu yang lain (individualisme).
Sejalan dengan pandangannya tentang naturalis development, Rousseau menganalogikan perkembangan indvidu dengan evolusi makhluk (species) manusia. Ia menyatakan bahwa perkembangan individu (ontogeny) merupakan ringkasan perkembangan makhluk (phylogeny). Ada 4 tahapan perkembanagan menurut Rousseau, yaitu:
    0-4  atau 5 tahun: masa kanak-kanak (infancy).
    5-12 tahun: masa bandel (savage stage).
    12-15 tahun: bangkitnya akal (ratio), nalar dan kesadaran diri (self consciousness).
    15-20 tahun: masa kesempurnaan remaja dan merupakan puncak perkembangan emosi.

G.S. Hall juga membagi tahapn perkembangan manusia yaitu:
    0-4 tahun: masa kanak-kanak (infancy)
    4-8 tahun: masa kanak-kanak (childhood)
    8-12 tahun: masa muda (youht atau preadolescence)
    12-25 tahun: masa remaja (adolescence)
Seperti Rousseau juga, Hall berpendapat bahwa mendidik anak harus dengan cara memberinya kebebasan seluas-luasnya, karena perkembangan jiwa manusia tidak banyak dipengaruhi oleh lingkungannya, melainkan sudah digariskan oleh alam sendiri. Hall bakan mengatakan bahwa remaja boleh mencari jalannya sendiri dan boleh mengkritik orang dewasa. Dari zaman Aristoteles sampai G.S. Hall  tampaknya sudah ada kesepakatan tentang adanya kurun usia tertentu yang merupakan peralihan dari masa kanak-kanak ke masa dewasa, tetapi bagaimana proses itu terjadi belum ada penjelasannya.
Petro Blos (1962) adalah penganut aliran psikoanalisis yang menerangkan tahap-tahap perkembangan dalam kurun usia remaja berpendapat bahwa perkembangan pada hakikatnya adalah usaha penyesuaian diri, yaitu untuk secara aktif mengatasi stress dan mencari jalan keluar baru dari berbagai masalah. Ada 3 tahap perkembangan remaja dalam proses penyesuaian diri menuju kedewasaan, yaitu:
a.    Ramaja awal : seorang remaja masih terheran-heran akan perubahan-perubahan yang terjadi pada tubuhnya sendiri dan dorongan-dorongan yang menyertai perubahan-perubahan itu.
b.    Remaja madya : remaja sangat membutuhkan teman-teman, ada kecenderungan narcistic, yaitu mencintai diri sendiri dengan menyukai teman-teman yang punya sifat-sifat sama dengan dirinya.
c.    Remaja akhir : masa konsulidasi menuju priode dewasa 
                               
3.    ORIENTASI ALAMIAH DAN NALURIAH
Kalau Aristoteles mengaitkan perkembangan jiwa manusia dengan tubuhnya melalui hubungan matter dan form, Plato sebagai penganut “dualisme” sejati memisahkan sama sekali jiwa dari badan. Jiwa sama sekali tidak identik dengan badan dan keduanya berkembang sendiri-sendiri. Jiwa dianggap oleh Plato sebagai suatu zat yang sudah ada sebelum badan sendiri itu ada, kedua zat itu akan bertemu pada saat kelahiran yaitu jiwa akan mengisi badan.
Plato juga  dapat digolongkan pada penganjur teori yang berorientasi kepada perkembangan alamiah dan naluriah dari jiwa manusia. Pertama-tama ini menyatakan bahwa anak-anak tidak sama dengan orang dewasa, karena ide-ide yang dibawa anak-anak sejak lahirnya belum berkembang sebagai mana yang terdapat pada orang dewasa. Bagaimana perkembangan ide-ide itu sangat idividual sifatnya dan ditentukan olehh berkembangnya akal orang yang bersangkutan. Oleh karena itu, Plato menganjurkan pendidikan yang membebaskan akal untuk berkembang seoptimal mungkin, seperti membiarkan keingintahuan dan antusiasme yang besar kepada remaja. Bahkan juga membiarkan remaja mengkritik orang tuanya, karena kebutuhan untuk membantah dan berdebat sangat besar pada remaja dalam rangka remaja itu mengembangkan akal dan daya berfikir kritisnya.
Namun kebebasan berkembang pada segi ratio menurut Plato tidak berarti secara fisik anak-anak itu boleh bebas semaunya juga. Mulai umur 6 tahun, anak laki-laki harus mulai dipisahkan dari anak-anak perempuan dan mulai didik menunggang kuda dan mengguanakan tombak, sedangkan anak-anak perempuan dididik untuk menguasai keterampilan-keterampilan kewanitaan. Selanjutnya anak laki-laki dilarang minum anggur sebelum umur 18 tahun karena kegairahan mereka terlalu besar, “api tidak boleh dicampur dengan api”, kata Plato.
Orientasi yang biologis juga dianjurkan oleh Sigmund Frued (1856-1939) dalam teori psikoanalisanya. Frued psikiater asal Jerman ini sudah sangat terkenal dengan teorinya yang sudah mnejadi teori yang klasik. Akan btetapi teori yang mendasarkan diri pada impuls (dorongan) seksual ini agak kurang memperhatikan masa remaja. Tekanannya pada masa balita, yaitu dorongan naluri yang dibawa sejak lahir ditambah dengan pengalaman hubungan dengan orang tua pada masa balita akan sangat mempengaruhi corak kepribadian anak pada masa dewasanya kelak.
Mengenai masa remaja sendiri Frued hanya mengatakan bahwa seksualitas pada remaja dimulai dengan perubahan-perubahan tubuh dan faali yang menimbulkan tujuan baru dari dorongan seks, yaitu reproduksi (keturunan). Tahap ini disebut fase genital, yang merupakan perkembangan terakhir dari tahap-tahap sebelumnya yang belum bertujuan reproduktif.
Fase genital pada masa remaja diwujudkan melalui 3 hal, yaitu:
    Melalui rangsangan dari luar terhadap daerah-daerah erogen.
    Melalui tegangan-tegangan dari dalam dan kebutuhan faali untuk menyalurkan sekresi seksual
    Melalui kegairahan psikologik dan menyebabkanterjadinya dorongan untuk beronani.
Pada masa remaja ini, gejala Oedipoes Complex akan menghilang, karena adanya yang disebut oleh Frued inscest barrier (pengalaman terhadap hubungan seks dengan anggota keluarga sendiri) sebagai gantinya timbullah Oedipoes Complex ke-2 dimana seorang anak  laki-laki pada awal usia remajanya lebih tertarik pada wanita( bukan ibunya) yang lebih tua.
Pada remaja, menurut Otto Rank terjadi perubahan drastis dari will, yaitu dari keadaan tergantung pada orang lain (dependence) pada masa kanak-kanak menuju kepada keadaan mandiri  (independence) pada masa dewasa.
Tahap-tahap perubahan itu antara lain:
a.    Pembebasan kehendak dari kekuatan-kekuatan dari dalam diri sendiri maupun dari lingkungannya yang selama ini mendominasinya.
b.    Pemilihan kepribadian (divisiaon in personality)
c.    Integrasi antara kehendak dan kontra- kehendak menjadi pribadi yang harmonis.
Kalau Otto Rank menjelaskan masa remaja ini dari sudut pembebasan kehendak dari kontra kehendak dalam menuju terbentuknya kepribadian yang mandiri yang mamu menentukan self-nya sendiri. Erik Erikson, seorang ahli psikoanalisis yang lain mengatakan bahwa manusia sejak lahirnya dihadapkan dalam konflik yang terus menerus dalam rangka pembentukan identitas egonya.


Menurut Erikson ada beberapa tahap-tahap perkembangan dengan konfliknya, yaitu:
a.    Percaya (trust) melawan tidak percaya (mistrust).
b.    Otonomi lawan rasa malu (shame) dan keraguan (doubt)
c.    Inisiatf lawan rasa bersalah (guilt) atau fase locomotor genital.
d.    Industrius (hasrat berprestasi) lawan rendah diri inferiority)
e.    Identitas lawan kekaburan peran(role diffusion)
f.    Keintiman lawan penjarakan (isolation)
g.    Kemajuan (generativity) lawan kemandegan (stagnation)
h.    Integritas ego lawan kemuakan dan ketidaksenangan.

4.    ORIENTASI LINGKUNGAN SOSIAL
Aliran yang lebih menekankan kepada faktor lingkungan dalam menerangkan perkembangan jiwa remaja, disebut juga alairan “empirisme” (empiri: pengalaman),sedangkan yang lebih berorientasi kepada faktor-faktor biologis, alamiah atau bakat dan bawaan disebut aliran “nativisme”.
Salah satu tokoh yang paling terkemuka dali aliran ini adalah John Locke (1632-1704), seorang filsif dari Inggris yang mengemukakkan teori tabula rasa (papan pengumuman tebuat dari lilin). Pandangan Jonh Lock ini merupakan antithesis (pandangan yang berlawanan) dari pandangan yang berlaku diabad pertengahan yang didominasi oleh gereja.
Ada 3 pandangan antithesis John Locke, yaitu:
    Seorang ank akan menjadi baik atau jahat tergantung dari pengalaman.
    Semua orang dilahirkan sama derajatnya.
    Anak secara kualitatif tidak sama dengan orang dewasa.
Allison Davis yang mengemukakan gagasannya tentang “kecemasan yang diasosiasikan” pada tahun 1949. Dalam teorinya Davis menyatakan bahwa remaja berkembang sesuai dengan yang diharapkan oleh lingkungan budayanya. Kepribadiannya dibentuk oleh ggasan-gagasan, kepercayaan-kepercayaan, nilai-nilai dan norma-norma yang diajarkan kepada si remaja oleh lingkungan budayanya.
Dorongan yang menyebabkan remaja mau mengikuti yang dituntut oleh lingkungannya adalah kecemasan akan menghadapi hukuman, ancaman dan tidak adanya kasih sayang dari orang lain. Oleh karena itu teori Allison Davis dinamakan “kecemasan yang diasosiasikan”. Kalau kecemasan itu terlalu berat, akibat yang ditimbulkan adalah hambatan tingkah laku. Remaja yang bersangkutan jadi serba ragu-ragu, serba takut-takut dan tidak berani melakukan sesuayu. Dalam bentuknya yang ekstrim, remaja yang bersangkutan bisa menjurus kepada keadaan cemas yang neorotik (yang sudar tegolong gangguan jiwa). Tetapi pada dosis yang tepat kecemasan itu mendorong remaja untuk lebih bertanggung jawab, hati-hati dan menjaga tingkah lakunya agar selalu sesuai dengan norma-norma. Remaja jadinya dapat bertingkah laku normal sesuai dengan yang diharapkan oleh masyarakat.
Tokoh lain yang juga beraliran sosial-budaya adalah James S. Coleman. Tokoh ini tergolong tokoh yang relatif baru, karena karya-karya baru diterbitkan sekitar tahun 1960-1965. Ia tampil dengan teorinya  tentang youth culture (budaya anak muda), yang didasarkan pada pengamatannya terhadap anak-anak muda di Amerika Serikat pada saat itu yang berbeda (menyimpang) pola prilakunya dari yang lazim terdapt kalangan orang dewasa. Remaja pada masa itu tampil dengan kelakuan-kelakuan seperti rambut gondrong, pakaan compang-camping,  menamakan diri “generasi bunga”, menyukai lagu-lagu rock, mempercayai mistik dari India, melakukan hubungan seks pranikah,dan lain-lain. Gejala ini berlanjut sampai tahun 1970-an dan belakangan berkembang menjadi gerakan politik seperti demonstrasi menentang perang vietnam, demonstrasi anti penguasaan dan lain-lain.
Menurut Coleman, par remaja sadar akan pentingnya kebudayan sebagai tolak-ukur  terhadap tingkah laku sendiri. Kebudayaan memberikan pedoman, arah, persetujuan, pengingkaran, dudkungan, kasih sayang dan perasaan aman kepada
Tetapi Coleman juga menemukan bahwa ada beberapa kelompok anak muda yang menekankan pada prestasi sekolah. Coleman menemukan bahwa nilai yang dominan diantara mereka adalah nilai-nilai ulangan semata. Terjadi persaingan untuk mendapai nilai bagus dan hanya yang terbaik dalam angka ulangan yang terdapat penghargaan dari teman-temannya. Ini membuktikan bahwa budaya anak muda tidak selalu terkait dengan lingkungan budaya lain, termasuk dengan lingkungan budaya anak muda ini pada umumnya.

5.    ORIENTASI KONVERGENSI   
Aliran nativisme dan aliran empirisme ditengahi oleh aliran konvergensi, yaitu yang berorientasi pada pembawaan yang diberikan oleh alam dan pada pengalaman. William Stern (1871-1938), misalnya adal tokoh yang percaya bahwa jiwa manusia dibentuk berdasarkan bekal yang dibawa sejak lahir maupun oleh pengalaman yang diperolehnya dalam kehidupan selanjutnya
Dalam psikologi perkembangan, salah satu penganut aliran konvergensi ini yang mengajukan pendapatnya diawal tahun 1970-an adalah Robert Havighurst (1972). Ia mengamukakan suatu teori yang dinamakan teori tugas perkembangan . dalam teori ini dikatakan bahwa setiap individu, pada setiap tahapan usia mempunyai tujuan untuk mencapai suatu kepandaian, keterampilan, pengaetahuan, sikap dan fungsi tertentu, sesuai dengan kebutuhan pribadi yang timbul dari dalam dirinya sendiri (faktor nativisme) dan tuntutan yang datang dari masyarakat disekitarnya (faktor empirisme).
Pada remaja tugas perkembangan itu, menurut Robert Havighurst adalah:
    Menerima kondisi fisiknya dan memanfaatkan tubuhnya secara efektif.
    Menerima hubungan yang lebih matang dengan teman sebaya dari jenis kelamin manapun.
    Menerima peran jenis keklamin masing-masing.
    Berusaha melepaskan diri dari ketergantungan emosi terhadap orang tua dan orang dewasa lainnya.
    Mempersiapkan karir ekonomi.
    Mempersiapkan perkawinan dan kehidupan berkeluarga.
    Merencanakan tingkah laku sosial yuang bertanggung jawab.
    Mencapai sistem nilai dan etika tertentu sebagai pedoman tingkah lakunya.
Kata Robert selanjutnya, tercapai atau tidaknya tugas-tugas perkembangan diatas ditentukan oleh 3 faktor, yaitu:
    Kematangan fisik.
    Desakan dari masyarakat.
    Motivasi dari individu yang bersangkutan.
Salah satu kelompok teori yang juga dapat digolongkan dalam teori konvergensi adalah teori-teori psikologi kognitif. Teori-teori ini mempelajari tentang perkembangan kesadaran (kognisi) individu dan mengaitkannya dengan rangsang-rangsang yang datang dari luar. Kurt Lewin (1890-1947) mengemukan teori lapangan (field theory). Dalam teorinya Lewin menggambarkan kesadaran sebagai sebuah lapangan yang dinamakan lapangan psikologik (psychological field).
Pada anak-anak kecil, wilayah-wilayah dalam lapangan psikologik itu masih sangat terbatas, karena pengalaman-pengalaman meraka yang  belum banyak. Wilayah-wilayah itu berkembang dan bertambah banyak dengan bertambahnya usia. Pada orang orang dewasa, wilayah-wilayah itu sudah sangat rumit, tetapi pola gerak dari dorongan-dorongan sudah teratur karena pagar-pagar  pembatasnya sudah menebal dan makin sukar ditembus.
Berdasarkankan teorinya tersebut diatas, kurt Lewin menggambarkan tingkah laku yang menurut pendapatnya akan selalu terdapat pada remaja.
1.    Pemalu dan perasa, tetapi sekaligus juga capat marah dan  agresif sehubungan belum jelasnya batas-batas antara berbagai sektor di lapangan psikologik remaja.
2.    Ketidakjelasan batas-batas ini menyebabkan pola remaja terus menerus merasakan pertentangan antar sikap, nilai ,ideologi, dan gaya hidup.
3.    Konflik sikap, nilai dan idiologi tersebut diatas muncul dalam bentuk keteganan emosi yang meninngkat.
4.    Ada kecenderungan pada remaja untuk  mengabil posisi posisi yangsangat extreme dan mengubah kelakuannya secara drastis , akibatnya sering muncul tingkahlaku radikal dan memberontak dikalangan remaja.
5.    Bentuk bentuk khusus dari tingkah laku ramaja remaja pada berbagai individu yang berbeda akan sanagat ditentukan oleh sifat dan kekuatan dorongan dorongan yang  saling berkonflik tersebut tersebut di atas.

Berbeda dari Lewin, J. Pieget mencoba melihat kesadaran manusia sebagai suatu yang berdiri sendiri, terpisah dari rangsangan luar, tetapi terus menerus  berinteraksi dengan dunia luar. Dalam usahanya mempelajari perkembangan tingkat kognitif manusia, pieget yang sebelum menjadi filsuf dan psikolog, membagi tahap-tahap perkembangan kognitif manusia, yaitu:
1.    Tahap sensorik-motorik (0-2 tahun). Pada tahap yang paling awal ini, organ-organ tubuh manusia dipergunakan untuk bisa menangkap rangsang-rangsang dari luar (melalui inderanya) dan bereaksi terhadap rangsang-rangsang tersebut (melalui alat-alat motorik).
2.    Tahap pra-operasional (2-7 tahun). Pada masa ini anak sudah bisa membuat simbol-simbol untuk mewakili berbagai macam objek. Kata “pisau”atau “pensil” dimengerti oleh anak sebagai wakil dari benda-benda yang termaksud, walaupun benda itu pada saat tersebut itu berada di tempat di mana anak berada (jadi anak tidak bisa mempersepsikannya).
3.    Tahap kongkrit operasional (7-11 tahun). Pada tahap ini anak sudah mampu membuat hubungn-hubungan yang rumit melalui kegiatan mentalnya, misalnya memahami hubungan timbal balik anak bisa berhitung dengan benar walaupun posisi benda-benda yang di hitung di  ubah-ubah, anak sudah mampu mengenal proses dari suatu peristiwa yang terjadi.
4.    Tahap formal-operasional (11 tahun-dewasa). Tahap ini adalah tahap puncak, di mana anak mencapai kemampuan untuk berpikir sistematik terhadap hal-hal yang abstrak.
Menurut Kohlberg, tahap-tahap perkembangannya sebagai berikut:
1.    Tahap pra-konvensional (0-5 tahun)
Pada tahap ini, anak nelum mengetahui sama sekali tentang aturan-aturan yang ada dan untuk mengajar anak untuk dapat membedakan mana yang baik dan yang buruk, yang sopan dan yang tidak sopan, yang adil dan yang tidak adil, maka orang tua mendidik anak dengan sistem hukuman dan ganjaran. Pada tahap ini ada 2 sub tahap, yaitu:
    Orientasi hukuman menurut (punishment obedience orientation), yaitu anak akan menurut dan menyesuaikan kelakuannya kalau ia mendapat hukuman.
    Orientasi pertukaran instrumental (instrumental exchange orientation).
2.    Tahap konvensional
Pada saat anak mulai masuk tahap “kongkrit operational” (piaget), menurut Kohlberg seharusnya ia bisa melakukan asosiasi-asosiasi yang kongkrit untuk membedakan tingkah laku yang baik dengan yang jelek. Ia sudah bisa mulai memahami konvensi (aturan, norma) yang berlaku tampa ia memerlukan hukuman fisik maupun non fisik lagi. Dalam tahap ini ada 2 sub tahap, yaitu:
    Orientasi anak baik-anak nakal yang terjaadi natar usia 6-11 tahun, dimana anak mengukur tingkah lakunya dengan berorientasi pada apa yng lazim dianggap baik dan tidak melakukan apa yang dianggap kurang baik.
    Orientasi menjaga sistem. Pada usia remaja (12-20 tahun) tingkah laku moral ditujukan untuk mempertahankan norma-norma tertentu.
3.    Tahap pra-konvensional(masa dewasa)
Kalau sampaidengan masa remaja perkembangan moral masih terikat pada situasi-situasi yang kongkrit dan diukur dengan norma-norma yang relatif baku, usia dewasa tolak-ukurnya sudah lebih bersifat umum dan kuat. Orang dewasa sudah tidak berp[edoman pada konvensi-konvensi itu memang dianggapnya bisa berfungsi untuk tahapan yaang lebih luas. Dalam tahap ini ada 2 sub tahapnya, yaitu:
    Orientasi kontrak-sosial. Dalam tahap ini orang sudah memahami bahwa moral adalah untuk menjaga tatanan masyarakat agar tidak ada orang yang dirugikan untuk kesenangan orang lain atau dikorbankan untuk kegembiraan orang lain atau dikekang untuk kebebasan orang lain,
    Orientasi prinsip: etika universal. Pada tahap ini seseorang tidak lagi terpengaruh oleh situasi atau kondisi yang kongkrit dan bersifat sesaat.
Tahap-tahap diatas tidak selalu tercapai seluruhnya oleh setiap orang. Sebagaiman halnya dengan perkembangan kognitif dimana bisa saja terjadi seorang yng sudah berusia dewasa tetapi perkembangan kognitifnya terhenti pada tahap kongkrit operasional, pada perkembangan moral ini pun bisa terjadi orang-orang dewasa yang berhenti perkembangan moralnya pada tahap”orientasi anak baik-anak nakal”.

Aliran Pragmatisme

1.    Definisi Pragmatisme
 Pragmatisme adalah aliran pemikiran yang memandang bahwa benar tidaknya suatu ucapan, dalil, atau teori, semata-mata bergantung kepada berfaedah atau tidaknya ucapan, dalil, atau teori tersebut bagi manusia. Ide ini merupakan budaya dan tradisi berpikir Amerika khususnya dan Barat pada umumnya, yang lahir sebagai sebuah upaya intelektual untuk menjawab problem-problem yang terjadi pada awal abad ini.
Pragmatisme adalah suatu aliran yang mengajarkan bahwa yang benar ialah apa yang membuktikan dirinya sebagai benar dengan perantaraan akibat-akibatnya yang bermanfaat secara praktis. Pegangan pragmatisme adalah logika pengamatan. Aliran ini bersedia menerima segala sesuatu, asal saja membawa akibat yang praktis. Pengalaman-pengalaman pribadi diterimanya, asal bermanfaat. Bahkan kebenaran mistis dipandang sebagai berlaku juga, asal kebenaran mistis itu membawa akibat praktis yang bermanfaat. 
Menurut Juhaya (1993: p. 171), pragmatisme adalah suatu sikap metode dan filsafat yang memakai akibat-akibat dari ide-ide dan kepercayaan sebagai ukuran untuk menetapkan nilai dan kebenarannya. Lebih lanjut, ia menyinggung beberapa pendapat tokoh tentang definisi dari pragmatisme;

a.    Charles Sandre Peirce
Charles adalah sebagai pendiri pragmatisme pada tahun 1878. Ia mengatakan bahwa problem-problem termasuk persoalan-persoalan metafisika dapat dipecahkan jika kita member perhatian kepada akibat-akibat dari mengikuti bermacam-macam pikiran. Charles merupakan seorang seorang ahli logika. Perhatiannya terhadap logika
mencakup teori alamat bahwa ia memandang logika sebagai alat komunikasi. Sumbangan Charles yang penting terhadap filsafat adalah adalah teori tentang arti, yaitu sesuatu itu dikatakan berarti atau benar bila berguna bagi masyarakat.

b.    William James
Secara pasti, pragmatisme lebih popular dan selalu dikaitkan dengan nama William James, karena dialah yang mempopulerkannya.
William James sebagai tokoh filsafat sangat memperhatikan masalah fakta-fakta sebagai aliran empirisme. Pemikiran James yang paling mashur diantaranya adalah empirisme radikal dan teori kebenaran.
Dalam The Meaning of The Truth (1909), James menjelaskan metode berpikir yang mendasari pandangannya di atas. Dia mengartikan kebenaran itu harus mengandung tiga aspek. Pertama, kebenaran itu merupakan suatu postulat, yakni semua hal yang di satu sisi dapat ditentukan dan ditemukan berdasarkan pengalaman, sedang di sisi lain, siap diuji dengan perdebatan atau diskusi. Kedua, kebenaran merupakan suatu pernyataan fakta, artinya ada sangkut pautnya dengan pengalaman. Ketiga, kebenaran itu merupakan kesimpulan yang telah diperumum (digeneralisasikan) dari pernyataan fakta. James, dengan demikian, dapat dilihat sebagai penganjur Empirisme dengan cara berpikir induktif.
Menurut James, pemikir Rasionalis adalah orang yang bekerja dan menyelidiki sesuatu secara deduktif, dari yang menyeluruh ke bagian-bagian. Rasionalis berusaha mendeduksi yang umum ke yang khusus, mendeduksi fakta dari prinsip. Sedang pemikir Empirisme, berangkat dari fakta yang khusus (partikular) kepada kesimpulan umum yang menyeluruh. Seorang Empiris membuat generalisasi dari induksi terhadap fakta-fakta partikular. Tetapi Empirisme James adalah Empirisme Radikal, berbeda dengan empirisme tradisional yang kurang memperhatikan hubungan-hubungan antar fakta. Empirisme radikal melihat bahwa hubungan yang mempertautkan pengalaman-pengalaman, harus merupakan hubungan yang dialami.
Pragmatisme yang diserukan oleh James ini yang juga disebut Practicalisme, sebenarnya merupakan perkembangan dan olahan lebih jauh dari Pragmatisme Peirce. Hanya saja, Peirce lebih menekankan penerapan Pragmatisme ke dalam bahasa, yaitu untuk menerangkan arti-arti kalimat sehingga diperoleh kejelasan konsep dan pembedaannya dengan konsep lain. Dia menggunakan pendekatan matematik dan logika simbol (bahasa), berbeda dengan James yang menggunakan pendekatan psikologi.

c.    John Dewey
Orang yang sekalipun bekerja lepas dari William James, namun menghasilkan pemikiran yang menampakkan persamaan dengan gagasan James, ialah John Dewey.
Ia dilahirkan di Burlington pada tahun 1859. Ia adalah seorang pragmatis, tetapi ia lebih suka menyebut sistemnya dengan istilah instrumentalisme. Menurut dia, tugas filsafat adalah memberikan garis-garis pengarahan bagi perbuatan dalam kenyataan hidup. Oleh karena itu filsafat tidak boleh tenggelam dalam pemikiran-pemikiran metafisis yang tiada faedahnya. Filsafat harus berpijak pada pengalaman (experience), dan menyelidiki serta mengolah pengalaman itu secara aktif-kritis. Dengan demikian filsafat akan dapat menyusun suatu sistem norma-norma dan nilai-nilai.
Seperti yg dikemukakan, menurut Dewey, pemikiran kita berpangkal pada pengalama-pengalaman dan bergerak kembali menuju ke pengalaman-pengalaman. Gerak itu dibangkitkan segera kita dihadapkan dengan suatu keadaan yang menimbulkan persoalan dalam dunia sekitarnya, dan gerak itu berakhir dalam beberapa perubahan dalam dunia sekitar atau dalam diri kita sendiri. Pengalaman yang langsung bukanlah soal pengetahuan, yang mengandung di dalamnya pemisah antara subyek dan obyek, pemisah antara pelaku dan sasarannya. Di dalam pengalaman langsunng itu kedeuanya bukan dipisahkan, tetapi di persatukan. Apa yang dialami tidak dapt  dipisahkan dari yang menglaminya sebagai suatu hal yang penting atau berarti. Jikalau terdapat pemisah di antara subyek dan obyek hal itu bukan pengalaman, melainkan pemikiran kembali atas pengalaman tadi. Pemikiran itulah yang menyusun sasarang pengetahuan.


2.    Filsafat Pragmatisme dalam Pendidikan
Sejak dahulu hingga dewasa ini, dunia pendidikan selalu membuka diri terhadap kemungkinan diterapkannya suatu format pendidikan yang ideal untuk menjawab permasalahan global. Banyak teori telah diadopsi untuk mencapai tujuan tersebut. Termasuk teori pragmatis dari aliran filsafat pragmatisme mencoba mengisi ruang  dan waktu untuk turut mencari soludi terbaik terhadap model pendidikan yang dianggap selangkah ketinggalan dengan perkembangan pola piker manusia itu sendiri.
Di bawah ini akan diuraikan arah dan tujuan pendidikan pragmatisme;
2.1. Arah Pendidikan Pragmatisme
Dunia akan bermakna hanya jika manusia mempelajari makna yang terkandung di dalamnya, dan perubahan merupakan keniscayaan dari sebuah realitas. Manusia tidak akan pernah menjadi manusia yang sesungguhnya jika mereka tidak berkreasi terhadap dirinya.
Manusia adalah makhluk yang dinamis dan plastis. Sepanjang hidupnya,  manusia akan terus-menerus berkembang sesuai dengan kemampuan dan kreasinya. Dalam perkembangan tersebut manusia membutuhkan sesamanya, meniru, beradaptasi, bekerja-sama dan berkreasi mengembangkan kebudayaan di tengah-tengah komunitasnya. Baik dan buruk suatu peradaban ditentukan oleh kualitas perkembangan manusia. Manusia yang berkualitas akan mewarnai peradaban yang baik. Sebaliknya, manusia yang tidak berkualitas akan mewariskan/meninggalkan peradaban yang buruk, fulgar bahkan barbar.
Pendidikan yang mengikuti pola filsafat pragmatisme akan berwatak humanis, dan pendidikan yang humanis akan melahirkan manusia yang humanis pula. Karena itu, pernyataan “man is the meansure of all things” (Sadulloh, 2003: 120) akan sangat didukung oleh penganut aliran pragmatis, sebab hakekat pendidikan itu sendiri adalah memanusiakan manusia (Drost, 1998:v).

Inti dari filsafat pendidikan yang berwatak pragmatis adalah;
Pengetahuan yang benar adalah pengetahuan yang berguna, dan hasil dari pendidikan adalah berfungsi bagi kehidupannya. Karena itu, pendidikan harus didesain secara fleksibel dan terbuka. Maksudnya pendidikan tidak boleh mengurung kebebasan berkreasi anak, lebih-lebih membunuh kreatifitas anak. Menurut pragmatisme, pendidikan bukan semata-mata membentuk pribadi anak tanpa memperhatikan potensi yang ada dalam diri anak, juga bukan beranggapan bahwa anak telah memiliki kekuatan laten yang memungkinkan untuk berkembang dengan sendirinya sesuai tujuan. Namun, pendidikan merupakan suatu proses reorganisasi dan rekonstruksi dari pengalaman-pengalaman individu (Sadulloh, 2003:125).
2.2. Tujuan Pendidikan Pragmatisme
Para filsuf pragmatisme juga mengajarkan bahwa pendidikan harus mengajarkan pada seseorang bagaimana berfikir dan menyesuaikan diri terhadap perubahan yang terjadi dalam masyarakat. Lembaga sekolah harus mempunyai tujuan untuk mengembangkan pengalaman-pengalaman yang akan memungkinkan seseorang terarah kepada kehidupan yang lebih baik.
Pendidikan hendaknya bertujuan menyediakan pengalaman untuk menemukan / memecahkan hal-hal baru dalam kehidupan pribadi dan kehidupan sosial. Konsep kurikulum menurut filsuf prgamatisme yaitu tradisi demokrasi berupa tradisi memperbaiki diri sendiri. Pendidikan harus berfokus pada kehidupan yang baik pada masa sekarang dan masa yang akan datang. Kurikulum berisi pengalaman-pengalaman yang telah teruji, yang sesuai dengan minat dan kebutuhan siswa, dan kurikulum tersebut akan selalu berubah (Arbi, Sutan Zanti: 1988).
Tujuan pendidikan pragmatisme inheren dengan pandangan realitas, teori pengetahuan dan kebenaran, serta teori nilai. Menurut pandangan realitas, manusia selalu berintraksi dengan lingkungan tempat mereka berada. Lingkungan baru memiliki arti jika manusia peduli dan memahami kegunaan dari lingkungan itu sendiri untuk kejayaan hidupnya. Selama manusia tidak melakukan sesuatu terhadap lingkungan, selama itu pula lingkungan tidak pernah memberi sesuatu yang bermanfaat bagi manusia.
Suryabrata (Jalaluddin, 2003:119) mengatakan bahwa, pendidikan adalah suatu kegiatan yang sadar akan tujuan, bahkan tujuan merupakan salah satu hal yang teramat penting dalam kegiatan pendidikan, guna memberikan arah dan ketentuan yang pasti dalam memilih materi (isi), metode, alat, evaluasi terhadap kegiatan yang dilakukan. Dengan arah yang pasti, harapan untuk memperoleh hasil yang maksimal dari usaha penyelenggaraan pendidikan akan dapat dicapai.
Yang tidak kalah penting, menurut pragmatisme materi yang akan disajikan harus berdasarkan fakta-fakta yang sudah diobservasi, dipahami, serta dibicarakan sebelumnya, serta materi tersebut dimungkinkan mengandung ide-ide yang dapat mengembangkan situasi untuk mencapai tujuan. Sebagai misal, jika materi yang akan diberikan dikaitkan dengan demokrasi, maka materi tersebut hendaknya merupakan seperangkat tidakan untuk memberi isi terhadap kehidupan sosial yang ada pada waktu itu dilingkungan tinggal anak. Intinya sekolah secara umum, dan materi ajar secara khusus tidak dipisahkan dari kehidupan, karena hakekatnya pendidikan bukan persiapan untuk suatu kehidupan, melainkan pendidikan merupakan kehidupan itu sendiri.
Pendidikan yang bercorak pragmatisme selalu memandang bahwa anak bukanlah individu yang silent, melainkan individu yang memiliki pikiran yang aktif dan kreatif. Pengetahuan sebenarnya merupakan hasil dari transaksi manusia dengan lingkungannya, termasuk kebenaran menjadi bagian dari pengetahuan itu sendiri. Karena itu, seorang guru yang memiliki pandangan pragmatis akan selalu memperhatikan situasi lingkungan masyarakat anak, serta mendorong agar anak turut memecahkan persoalan yang ada disekitar tinggal mereka.
Dalam pandangan pragmatisme model kurikulum yang digunakan setiap pelajaran tidak boleh terpisah-pisah antara satu dengan yang lain, tetapi merupakan satu kesatuan yang saling terkait, dan pengalaman di sekolah selalu dipadukan dengan pengalaman anak di luar sekolah atau di tempat lingkungan kehidupan anak. Selain itu, masalah yang dijadikan pusat kegiatan oleh guru di kelas adalah masalah-masalah aktual yang menarik minat anak atau menjadi pusat perhatian anak.
Demikian pula metode yang diterapkan oleh guru adalah metode disiplin bukan kekuasaan, karena metode kekuasaan cenderung memaksakan anak untuk mengikuti kehendak guru. Cara yang demikian itu tidak mungkin dapat membangkitkan perhatian dan minat anak. Sedangkan metode disiplin, semua kemauan dan minat datang dari dalam diri anak sendiri, dan anak akan belajar apabila ia memiliki minat terhadap suatu hal untuk dipelajari.
Dalam pandangan pragmatisme terhadap pendidikan, siswa dipandang sebagai pribadi yang mempunyai potensi untuk berkembang dan tubuh luar biasa, sedangkan guru berperan membimbing pengalaman belajar siswa. Oleh karena itu, model pembelajaran pragmatisme adalah;
anak belajar di dalam kelas dengan cara berkelompok. Dengan berkelompok anak akan merasa bersama-sama terlibat dalam masalah dan pemecahanya. Anak akan terlatih bertanggung jawab terhadap beban dan kewajiban masing-masing. Sementara, guru hanya bertindak sebagai fasilitator dan motivator.
Ajaran pragmatisme juga mengutamakan metode pemecahan masalah (problem solving method) serta metode penyelidikan dan penemuan (inquiri dan discovery method). Maka dalam metode pendidikan ini membutuhkan guru yang memiliki sifat:
    pemberi kesempatan
    bersahabat, dan sabar
    seorang pembimbing,
    berpandangan terbuka
    antusias dan siap siaga
    kreatif dan bekerja sama
    sadar bermasyarakat;
    dan bersungguh-sungguh agar belajar berdasarkan pengalaman dapat diaplikasikan oleh siswa.

Pragmatisme dalam pendidikan membutuhkan guru yang tidak hanya mentransfer pengetahuan pada siswanya. Setiap hal yang dipelajari oleh siswa harus sesuai dengan kebutuhan, minat dan masalah pribadinya. Maka dalam hal ini, peran guru adalah:
    Menyediakan berbagai pengalaman yang akan memunculkan motivasi, contohnya catatan-catatan perjalanan, film-film, kisah orang-orang sukses, dll.
    Membimbing siswa untuk merumuskan batasan masalah secara spesifik.
    Membimbing, merancanakan tujuan-tujuan individual dan kelompok dalamm kelas guna memecahkan suatu masalah.
    Membantu para siswa dalam mengumpulkan informasi.
    Bersama-sama mengevaluasi apa yang telah dipelajari, bagaimana mempelajarinya dan informasi baru yang ditemukan oleh setiap siswa.
Dewey juga menerapkan pragmatisme dalam pendidikan Amerika dengan mengembangkan teori problem solving yang mempunyai 5 langkah.
    Merasakan adanya masalah.
    Menganalisis masalah itu dan menyusun hipotesis-hipotesis yang mungkin.
    Mengumpulkan data untuk memperjelas masalah.
    Memilih dan menganalisis hipotesis.
    Menguji, mencoba, dan membuktikan hipotesis dengan melakukan eksperimen pengujian.

           Meskipun berbeda-beda penekanannya, tetapi ketiga pemikir utama Pragmatisme menganut garis yang sama, yakni kebenaran suatu ide harus dibuktikan dengan pengalaman. Demikianlah Pragmatisme menerangkan dan menggurui dunia, bahwa yang benar itu hanyalah yang mempengaruhi hidup manusia serta yang berguna dalam praktik dan dapat memenuhi kebutuhan manusia.


3.     Analisis Kritis atas Kekuatan dan Kelemahan Pragmatisme

3.1 Kekuatan Pragmatisme

    Kemunculan pragmatis sebagai aliran filsafat dalam kehidupan kontemporer, khususnya di Amerika Serikat, telah membawa kemajuan-kemajuan yang pesat bagi ilmu pengetahuan maupun teknologi. Pragmatisme telah berhasil membumikan filsafat yang cenderung berfikir metafisis, idealis, abstrak, intelektualis, dan cenderung berfikir hal-hal yang memikirkan atas kenyataan, materialis, dan atas kebutuhan-kebutuhan dunia, bukan di akhirat. Dengan demikian, filsafat pragmatisme mengarahkan aktivitas manusia untuk hanya sekedar mempercayai pada hal yang sifatnya riil, dan hal yang manfaatnya bisa dinikmati secara praktis-pragmatis dalam kehidupan sehari-hari.

    Pragmatisme telah berhasil mendorong berfikir yang liberal, bebas dan selalu menyangsikan segala yang ada. Barangkali dengan sikap skeptis tersebut, pragmatisme telah mampu mendorong dan member semangat pada seseorang untuk berlomba-lomba membuktikan suatu konsep lewat penelitian-penelitian, pembuktian-pembuktian dan eksperimen-eksperimen sehingga muncullah temuan-temuan baru dalam dunia ilmu pengetahuan yang mempu mendorong secara dahsyat terhadap kemajuan di bidang sosial dan ekonomi.

    Sesuai dengan coraknya yang sekuler, pragmatisme tidak mudah percaya pada “kepercayaan yang mapan”. Suatu  kepercayaan yang diterima apabila terbukti kebenarannya lewat pembuktian yang praktis sehingga pragmatisme tidak mengakui adanya sesuatu yang sacral dan mitos. Dengan coraknya yang terbuka, kebanyakan kelompok pragmatis merupakan pendukung terciptanya demokratisasi, kebebasan manusia dan gerakan-gerakan progresif dalam masyarakat modern.

3.2. Kelemahan Pragmatisme
    Karena pragmatisme tidak mau mengakui sesuatu yang bersifat metafisika dan kebenaran absolute (kebenaran tunggal), hanya mengakui kebenaran apabila terbukti secara alamiah, dan percaya bahwa dunia ini mampu diciptakan oleh manusia sendiri. Secara tidak langsung, pragmatisme sudah mengingkari sesuatu yang transcendental (bahwa Tuhan jauh di luar alam semesta). Kemudian pada perkembangan lanjut, pragmatisme sangat mendewakan kemampuan akal dalam mencapai kebutuhan kehidupan, maka sikap-sikap semacam ini menjurus kepada Atheisme.

    Karena yang menjadi kebutuhan utama dalam filsafat prgamatisme adalah sesuatu yang nyata, praktis, dan langsung dinikmati hasilnya oleh manusia, maka pragmatisme menciptakan pola piker masyarakat yang matrealis. Manusia berusaha keras untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan yang bersifat ruhaniah. Maka dalam otak masyarakat pragmatisme telah di hinggapi oleh penyakit matrealisme.

    Untuk mencapai matrealismenya, manusia mengejarnya dengan berbagai cara, tanpa memperdulikan lagi dirinya merupakan anggota dari masyarakat sosialnya. Ia bekerja tanpa mengenal batas waktu sekedar memenuhi kebutuhan materinya. Maka dalam struktur masyarakatnya, manusia hidup semakin egois individualis.