Sabtu, 25 Februari 2012

Aliran Pragmatisme

1.    Definisi Pragmatisme
 Pragmatisme adalah aliran pemikiran yang memandang bahwa benar tidaknya suatu ucapan, dalil, atau teori, semata-mata bergantung kepada berfaedah atau tidaknya ucapan, dalil, atau teori tersebut bagi manusia. Ide ini merupakan budaya dan tradisi berpikir Amerika khususnya dan Barat pada umumnya, yang lahir sebagai sebuah upaya intelektual untuk menjawab problem-problem yang terjadi pada awal abad ini.
Pragmatisme adalah suatu aliran yang mengajarkan bahwa yang benar ialah apa yang membuktikan dirinya sebagai benar dengan perantaraan akibat-akibatnya yang bermanfaat secara praktis. Pegangan pragmatisme adalah logika pengamatan. Aliran ini bersedia menerima segala sesuatu, asal saja membawa akibat yang praktis. Pengalaman-pengalaman pribadi diterimanya, asal bermanfaat. Bahkan kebenaran mistis dipandang sebagai berlaku juga, asal kebenaran mistis itu membawa akibat praktis yang bermanfaat. 
Menurut Juhaya (1993: p. 171), pragmatisme adalah suatu sikap metode dan filsafat yang memakai akibat-akibat dari ide-ide dan kepercayaan sebagai ukuran untuk menetapkan nilai dan kebenarannya. Lebih lanjut, ia menyinggung beberapa pendapat tokoh tentang definisi dari pragmatisme;

a.    Charles Sandre Peirce
Charles adalah sebagai pendiri pragmatisme pada tahun 1878. Ia mengatakan bahwa problem-problem termasuk persoalan-persoalan metafisika dapat dipecahkan jika kita member perhatian kepada akibat-akibat dari mengikuti bermacam-macam pikiran. Charles merupakan seorang seorang ahli logika. Perhatiannya terhadap logika
mencakup teori alamat bahwa ia memandang logika sebagai alat komunikasi. Sumbangan Charles yang penting terhadap filsafat adalah adalah teori tentang arti, yaitu sesuatu itu dikatakan berarti atau benar bila berguna bagi masyarakat.

b.    William James
Secara pasti, pragmatisme lebih popular dan selalu dikaitkan dengan nama William James, karena dialah yang mempopulerkannya.
William James sebagai tokoh filsafat sangat memperhatikan masalah fakta-fakta sebagai aliran empirisme. Pemikiran James yang paling mashur diantaranya adalah empirisme radikal dan teori kebenaran.
Dalam The Meaning of The Truth (1909), James menjelaskan metode berpikir yang mendasari pandangannya di atas. Dia mengartikan kebenaran itu harus mengandung tiga aspek. Pertama, kebenaran itu merupakan suatu postulat, yakni semua hal yang di satu sisi dapat ditentukan dan ditemukan berdasarkan pengalaman, sedang di sisi lain, siap diuji dengan perdebatan atau diskusi. Kedua, kebenaran merupakan suatu pernyataan fakta, artinya ada sangkut pautnya dengan pengalaman. Ketiga, kebenaran itu merupakan kesimpulan yang telah diperumum (digeneralisasikan) dari pernyataan fakta. James, dengan demikian, dapat dilihat sebagai penganjur Empirisme dengan cara berpikir induktif.
Menurut James, pemikir Rasionalis adalah orang yang bekerja dan menyelidiki sesuatu secara deduktif, dari yang menyeluruh ke bagian-bagian. Rasionalis berusaha mendeduksi yang umum ke yang khusus, mendeduksi fakta dari prinsip. Sedang pemikir Empirisme, berangkat dari fakta yang khusus (partikular) kepada kesimpulan umum yang menyeluruh. Seorang Empiris membuat generalisasi dari induksi terhadap fakta-fakta partikular. Tetapi Empirisme James adalah Empirisme Radikal, berbeda dengan empirisme tradisional yang kurang memperhatikan hubungan-hubungan antar fakta. Empirisme radikal melihat bahwa hubungan yang mempertautkan pengalaman-pengalaman, harus merupakan hubungan yang dialami.
Pragmatisme yang diserukan oleh James ini yang juga disebut Practicalisme, sebenarnya merupakan perkembangan dan olahan lebih jauh dari Pragmatisme Peirce. Hanya saja, Peirce lebih menekankan penerapan Pragmatisme ke dalam bahasa, yaitu untuk menerangkan arti-arti kalimat sehingga diperoleh kejelasan konsep dan pembedaannya dengan konsep lain. Dia menggunakan pendekatan matematik dan logika simbol (bahasa), berbeda dengan James yang menggunakan pendekatan psikologi.

c.    John Dewey
Orang yang sekalipun bekerja lepas dari William James, namun menghasilkan pemikiran yang menampakkan persamaan dengan gagasan James, ialah John Dewey.
Ia dilahirkan di Burlington pada tahun 1859. Ia adalah seorang pragmatis, tetapi ia lebih suka menyebut sistemnya dengan istilah instrumentalisme. Menurut dia, tugas filsafat adalah memberikan garis-garis pengarahan bagi perbuatan dalam kenyataan hidup. Oleh karena itu filsafat tidak boleh tenggelam dalam pemikiran-pemikiran metafisis yang tiada faedahnya. Filsafat harus berpijak pada pengalaman (experience), dan menyelidiki serta mengolah pengalaman itu secara aktif-kritis. Dengan demikian filsafat akan dapat menyusun suatu sistem norma-norma dan nilai-nilai.
Seperti yg dikemukakan, menurut Dewey, pemikiran kita berpangkal pada pengalama-pengalaman dan bergerak kembali menuju ke pengalaman-pengalaman. Gerak itu dibangkitkan segera kita dihadapkan dengan suatu keadaan yang menimbulkan persoalan dalam dunia sekitarnya, dan gerak itu berakhir dalam beberapa perubahan dalam dunia sekitar atau dalam diri kita sendiri. Pengalaman yang langsung bukanlah soal pengetahuan, yang mengandung di dalamnya pemisah antara subyek dan obyek, pemisah antara pelaku dan sasarannya. Di dalam pengalaman langsunng itu kedeuanya bukan dipisahkan, tetapi di persatukan. Apa yang dialami tidak dapt  dipisahkan dari yang menglaminya sebagai suatu hal yang penting atau berarti. Jikalau terdapat pemisah di antara subyek dan obyek hal itu bukan pengalaman, melainkan pemikiran kembali atas pengalaman tadi. Pemikiran itulah yang menyusun sasarang pengetahuan.


2.    Filsafat Pragmatisme dalam Pendidikan
Sejak dahulu hingga dewasa ini, dunia pendidikan selalu membuka diri terhadap kemungkinan diterapkannya suatu format pendidikan yang ideal untuk menjawab permasalahan global. Banyak teori telah diadopsi untuk mencapai tujuan tersebut. Termasuk teori pragmatis dari aliran filsafat pragmatisme mencoba mengisi ruang  dan waktu untuk turut mencari soludi terbaik terhadap model pendidikan yang dianggap selangkah ketinggalan dengan perkembangan pola piker manusia itu sendiri.
Di bawah ini akan diuraikan arah dan tujuan pendidikan pragmatisme;
2.1. Arah Pendidikan Pragmatisme
Dunia akan bermakna hanya jika manusia mempelajari makna yang terkandung di dalamnya, dan perubahan merupakan keniscayaan dari sebuah realitas. Manusia tidak akan pernah menjadi manusia yang sesungguhnya jika mereka tidak berkreasi terhadap dirinya.
Manusia adalah makhluk yang dinamis dan plastis. Sepanjang hidupnya,  manusia akan terus-menerus berkembang sesuai dengan kemampuan dan kreasinya. Dalam perkembangan tersebut manusia membutuhkan sesamanya, meniru, beradaptasi, bekerja-sama dan berkreasi mengembangkan kebudayaan di tengah-tengah komunitasnya. Baik dan buruk suatu peradaban ditentukan oleh kualitas perkembangan manusia. Manusia yang berkualitas akan mewarnai peradaban yang baik. Sebaliknya, manusia yang tidak berkualitas akan mewariskan/meninggalkan peradaban yang buruk, fulgar bahkan barbar.
Pendidikan yang mengikuti pola filsafat pragmatisme akan berwatak humanis, dan pendidikan yang humanis akan melahirkan manusia yang humanis pula. Karena itu, pernyataan “man is the meansure of all things” (Sadulloh, 2003: 120) akan sangat didukung oleh penganut aliran pragmatis, sebab hakekat pendidikan itu sendiri adalah memanusiakan manusia (Drost, 1998:v).

Inti dari filsafat pendidikan yang berwatak pragmatis adalah;
Pengetahuan yang benar adalah pengetahuan yang berguna, dan hasil dari pendidikan adalah berfungsi bagi kehidupannya. Karena itu, pendidikan harus didesain secara fleksibel dan terbuka. Maksudnya pendidikan tidak boleh mengurung kebebasan berkreasi anak, lebih-lebih membunuh kreatifitas anak. Menurut pragmatisme, pendidikan bukan semata-mata membentuk pribadi anak tanpa memperhatikan potensi yang ada dalam diri anak, juga bukan beranggapan bahwa anak telah memiliki kekuatan laten yang memungkinkan untuk berkembang dengan sendirinya sesuai tujuan. Namun, pendidikan merupakan suatu proses reorganisasi dan rekonstruksi dari pengalaman-pengalaman individu (Sadulloh, 2003:125).
2.2. Tujuan Pendidikan Pragmatisme
Para filsuf pragmatisme juga mengajarkan bahwa pendidikan harus mengajarkan pada seseorang bagaimana berfikir dan menyesuaikan diri terhadap perubahan yang terjadi dalam masyarakat. Lembaga sekolah harus mempunyai tujuan untuk mengembangkan pengalaman-pengalaman yang akan memungkinkan seseorang terarah kepada kehidupan yang lebih baik.
Pendidikan hendaknya bertujuan menyediakan pengalaman untuk menemukan / memecahkan hal-hal baru dalam kehidupan pribadi dan kehidupan sosial. Konsep kurikulum menurut filsuf prgamatisme yaitu tradisi demokrasi berupa tradisi memperbaiki diri sendiri. Pendidikan harus berfokus pada kehidupan yang baik pada masa sekarang dan masa yang akan datang. Kurikulum berisi pengalaman-pengalaman yang telah teruji, yang sesuai dengan minat dan kebutuhan siswa, dan kurikulum tersebut akan selalu berubah (Arbi, Sutan Zanti: 1988).
Tujuan pendidikan pragmatisme inheren dengan pandangan realitas, teori pengetahuan dan kebenaran, serta teori nilai. Menurut pandangan realitas, manusia selalu berintraksi dengan lingkungan tempat mereka berada. Lingkungan baru memiliki arti jika manusia peduli dan memahami kegunaan dari lingkungan itu sendiri untuk kejayaan hidupnya. Selama manusia tidak melakukan sesuatu terhadap lingkungan, selama itu pula lingkungan tidak pernah memberi sesuatu yang bermanfaat bagi manusia.
Suryabrata (Jalaluddin, 2003:119) mengatakan bahwa, pendidikan adalah suatu kegiatan yang sadar akan tujuan, bahkan tujuan merupakan salah satu hal yang teramat penting dalam kegiatan pendidikan, guna memberikan arah dan ketentuan yang pasti dalam memilih materi (isi), metode, alat, evaluasi terhadap kegiatan yang dilakukan. Dengan arah yang pasti, harapan untuk memperoleh hasil yang maksimal dari usaha penyelenggaraan pendidikan akan dapat dicapai.
Yang tidak kalah penting, menurut pragmatisme materi yang akan disajikan harus berdasarkan fakta-fakta yang sudah diobservasi, dipahami, serta dibicarakan sebelumnya, serta materi tersebut dimungkinkan mengandung ide-ide yang dapat mengembangkan situasi untuk mencapai tujuan. Sebagai misal, jika materi yang akan diberikan dikaitkan dengan demokrasi, maka materi tersebut hendaknya merupakan seperangkat tidakan untuk memberi isi terhadap kehidupan sosial yang ada pada waktu itu dilingkungan tinggal anak. Intinya sekolah secara umum, dan materi ajar secara khusus tidak dipisahkan dari kehidupan, karena hakekatnya pendidikan bukan persiapan untuk suatu kehidupan, melainkan pendidikan merupakan kehidupan itu sendiri.
Pendidikan yang bercorak pragmatisme selalu memandang bahwa anak bukanlah individu yang silent, melainkan individu yang memiliki pikiran yang aktif dan kreatif. Pengetahuan sebenarnya merupakan hasil dari transaksi manusia dengan lingkungannya, termasuk kebenaran menjadi bagian dari pengetahuan itu sendiri. Karena itu, seorang guru yang memiliki pandangan pragmatis akan selalu memperhatikan situasi lingkungan masyarakat anak, serta mendorong agar anak turut memecahkan persoalan yang ada disekitar tinggal mereka.
Dalam pandangan pragmatisme model kurikulum yang digunakan setiap pelajaran tidak boleh terpisah-pisah antara satu dengan yang lain, tetapi merupakan satu kesatuan yang saling terkait, dan pengalaman di sekolah selalu dipadukan dengan pengalaman anak di luar sekolah atau di tempat lingkungan kehidupan anak. Selain itu, masalah yang dijadikan pusat kegiatan oleh guru di kelas adalah masalah-masalah aktual yang menarik minat anak atau menjadi pusat perhatian anak.
Demikian pula metode yang diterapkan oleh guru adalah metode disiplin bukan kekuasaan, karena metode kekuasaan cenderung memaksakan anak untuk mengikuti kehendak guru. Cara yang demikian itu tidak mungkin dapat membangkitkan perhatian dan minat anak. Sedangkan metode disiplin, semua kemauan dan minat datang dari dalam diri anak sendiri, dan anak akan belajar apabila ia memiliki minat terhadap suatu hal untuk dipelajari.
Dalam pandangan pragmatisme terhadap pendidikan, siswa dipandang sebagai pribadi yang mempunyai potensi untuk berkembang dan tubuh luar biasa, sedangkan guru berperan membimbing pengalaman belajar siswa. Oleh karena itu, model pembelajaran pragmatisme adalah;
anak belajar di dalam kelas dengan cara berkelompok. Dengan berkelompok anak akan merasa bersama-sama terlibat dalam masalah dan pemecahanya. Anak akan terlatih bertanggung jawab terhadap beban dan kewajiban masing-masing. Sementara, guru hanya bertindak sebagai fasilitator dan motivator.
Ajaran pragmatisme juga mengutamakan metode pemecahan masalah (problem solving method) serta metode penyelidikan dan penemuan (inquiri dan discovery method). Maka dalam metode pendidikan ini membutuhkan guru yang memiliki sifat:
    pemberi kesempatan
    bersahabat, dan sabar
    seorang pembimbing,
    berpandangan terbuka
    antusias dan siap siaga
    kreatif dan bekerja sama
    sadar bermasyarakat;
    dan bersungguh-sungguh agar belajar berdasarkan pengalaman dapat diaplikasikan oleh siswa.

Pragmatisme dalam pendidikan membutuhkan guru yang tidak hanya mentransfer pengetahuan pada siswanya. Setiap hal yang dipelajari oleh siswa harus sesuai dengan kebutuhan, minat dan masalah pribadinya. Maka dalam hal ini, peran guru adalah:
    Menyediakan berbagai pengalaman yang akan memunculkan motivasi, contohnya catatan-catatan perjalanan, film-film, kisah orang-orang sukses, dll.
    Membimbing siswa untuk merumuskan batasan masalah secara spesifik.
    Membimbing, merancanakan tujuan-tujuan individual dan kelompok dalamm kelas guna memecahkan suatu masalah.
    Membantu para siswa dalam mengumpulkan informasi.
    Bersama-sama mengevaluasi apa yang telah dipelajari, bagaimana mempelajarinya dan informasi baru yang ditemukan oleh setiap siswa.
Dewey juga menerapkan pragmatisme dalam pendidikan Amerika dengan mengembangkan teori problem solving yang mempunyai 5 langkah.
    Merasakan adanya masalah.
    Menganalisis masalah itu dan menyusun hipotesis-hipotesis yang mungkin.
    Mengumpulkan data untuk memperjelas masalah.
    Memilih dan menganalisis hipotesis.
    Menguji, mencoba, dan membuktikan hipotesis dengan melakukan eksperimen pengujian.

           Meskipun berbeda-beda penekanannya, tetapi ketiga pemikir utama Pragmatisme menganut garis yang sama, yakni kebenaran suatu ide harus dibuktikan dengan pengalaman. Demikianlah Pragmatisme menerangkan dan menggurui dunia, bahwa yang benar itu hanyalah yang mempengaruhi hidup manusia serta yang berguna dalam praktik dan dapat memenuhi kebutuhan manusia.


3.     Analisis Kritis atas Kekuatan dan Kelemahan Pragmatisme

3.1 Kekuatan Pragmatisme

    Kemunculan pragmatis sebagai aliran filsafat dalam kehidupan kontemporer, khususnya di Amerika Serikat, telah membawa kemajuan-kemajuan yang pesat bagi ilmu pengetahuan maupun teknologi. Pragmatisme telah berhasil membumikan filsafat yang cenderung berfikir metafisis, idealis, abstrak, intelektualis, dan cenderung berfikir hal-hal yang memikirkan atas kenyataan, materialis, dan atas kebutuhan-kebutuhan dunia, bukan di akhirat. Dengan demikian, filsafat pragmatisme mengarahkan aktivitas manusia untuk hanya sekedar mempercayai pada hal yang sifatnya riil, dan hal yang manfaatnya bisa dinikmati secara praktis-pragmatis dalam kehidupan sehari-hari.

    Pragmatisme telah berhasil mendorong berfikir yang liberal, bebas dan selalu menyangsikan segala yang ada. Barangkali dengan sikap skeptis tersebut, pragmatisme telah mampu mendorong dan member semangat pada seseorang untuk berlomba-lomba membuktikan suatu konsep lewat penelitian-penelitian, pembuktian-pembuktian dan eksperimen-eksperimen sehingga muncullah temuan-temuan baru dalam dunia ilmu pengetahuan yang mempu mendorong secara dahsyat terhadap kemajuan di bidang sosial dan ekonomi.

    Sesuai dengan coraknya yang sekuler, pragmatisme tidak mudah percaya pada “kepercayaan yang mapan”. Suatu  kepercayaan yang diterima apabila terbukti kebenarannya lewat pembuktian yang praktis sehingga pragmatisme tidak mengakui adanya sesuatu yang sacral dan mitos. Dengan coraknya yang terbuka, kebanyakan kelompok pragmatis merupakan pendukung terciptanya demokratisasi, kebebasan manusia dan gerakan-gerakan progresif dalam masyarakat modern.

3.2. Kelemahan Pragmatisme
    Karena pragmatisme tidak mau mengakui sesuatu yang bersifat metafisika dan kebenaran absolute (kebenaran tunggal), hanya mengakui kebenaran apabila terbukti secara alamiah, dan percaya bahwa dunia ini mampu diciptakan oleh manusia sendiri. Secara tidak langsung, pragmatisme sudah mengingkari sesuatu yang transcendental (bahwa Tuhan jauh di luar alam semesta). Kemudian pada perkembangan lanjut, pragmatisme sangat mendewakan kemampuan akal dalam mencapai kebutuhan kehidupan, maka sikap-sikap semacam ini menjurus kepada Atheisme.

    Karena yang menjadi kebutuhan utama dalam filsafat prgamatisme adalah sesuatu yang nyata, praktis, dan langsung dinikmati hasilnya oleh manusia, maka pragmatisme menciptakan pola piker masyarakat yang matrealis. Manusia berusaha keras untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan yang bersifat ruhaniah. Maka dalam otak masyarakat pragmatisme telah di hinggapi oleh penyakit matrealisme.

    Untuk mencapai matrealismenya, manusia mengejarnya dengan berbagai cara, tanpa memperdulikan lagi dirinya merupakan anggota dari masyarakat sosialnya. Ia bekerja tanpa mengenal batas waktu sekedar memenuhi kebutuhan materinya. Maka dalam struktur masyarakatnya, manusia hidup semakin egois individualis.
 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar