BAB I
PENDAHULUAN
Selama rentang kehidupan manusia, telah terjadi banyak pertumbuhan dan perkembangan dari mulai lahir sampai dengan meninggal dunia. Dari semua fase perkembangan manusia tersebut, salah satu yang paling penting dan yang paling menjadi pusat perhatian adalah masa remaja. Para orang tua, pendidik dan para tenaga profesional lainnya mencoba untuk menerangkan dan melakukan pendekatanyang efektif untuk menangani remaja ini.
Remaja adalah masa transisi dari periode anak ke dewasa. Secara psikologis kedewasaan adalah keadaan dimana sudah ada ciri – ciri psikologis tertentu pada seseorang. Dalam pembagian tahap perkembangan manusia, masa remaja menduduki tahap progesif.
Sejalan dengan perkembangan jasmani dan rohaninya maka agama pada remaja turut dipengaruhi perkembangn itu. Penghayatan pada remaja terhadap ajaran agama dan tindak keagamaan yang tampak pada para remaja banyak berkaitan dengan factor – factor perkembangan tersebut.
PENDAHULUAN
Selama rentang kehidupan manusia, telah terjadi banyak pertumbuhan dan perkembangan dari mulai lahir sampai dengan meninggal dunia. Dari semua fase perkembangan manusia tersebut, salah satu yang paling penting dan yang paling menjadi pusat perhatian adalah masa remaja. Para orang tua, pendidik dan para tenaga profesional lainnya mencoba untuk menerangkan dan melakukan pendekatanyang efektif untuk menangani remaja ini.
Remaja adalah masa transisi dari periode anak ke dewasa. Secara psikologis kedewasaan adalah keadaan dimana sudah ada ciri – ciri psikologis tertentu pada seseorang. Dalam pembagian tahap perkembangan manusia, masa remaja menduduki tahap progesif.
Sejalan dengan perkembangan jasmani dan rohaninya maka agama pada remaja turut dipengaruhi perkembangn itu. Penghayatan pada remaja terhadap ajaran agama dan tindak keagamaan yang tampak pada para remaja banyak berkaitan dengan factor – factor perkembangan tersebut.
BAB II
PEMBAHASAN
TINJAUAN TEORI
1. KONSEP TENTANG REMAJA
Dibandingkan dengan sejarah umat manusia, pengakuan terhadap adanya kurun usia tertentu yang disebut “remaja” relatif masih sangat baru. Adams, G,R dan Gullotta T. (1983) menyatakan bahwa dinegara-negara Barat dan bagian-bagian lain didunia seperti di Arab bahwa konsep tentang anak sebagai suatu hal yang berbeda dari orang dewasa, belum dikenal sampai dengan abad pertengahan. Begitu anak dapat berfungsi sendiri tampa bantuan orang tua, sering dijadikan objek saja.
Tetapi jika ditempat lain, menjadi anak sebagai objek dengan sewenang-wenang masih terjadi sampai sekarang, menurut Adams & Gullotta di Eropa konsep tentang anak mulai dikenal pada abad ke-13, hanya saja sampai abad ke-19 anak masih dianggap sebagai “tanah liat” yang dapat dibentuk sesuka hati orang tua. Misalnya, dalam tahun 1847 seseorang ahli pendidikan bernama Thomas Dick menulis bahwa sejak umur 10 atau 12 tahun orang tua harus menunjukkan otoritasnya, bukan dengan cara memukulnya tetapi dengan cara menunjukkan bahwa kemauan orang tua lebih penting dan lebih harus dituruti dari pada kemauan anak sendiri. Kalau anak ingin sesuatu dan orang tua bilang “jangan”, maka orang tua harus mencegah keinginan anak itu, setidaknya untuk jangka waktu tertentu. Baru kemudian keinginan anak dipenuhi sebagai hadiah karena anak sudah patuh.
2. REMAJA DALAM RANGKA PERKEMBANGAN JIWA MANUSIA
Arisoteles adalah seorang filsuf yang membedakan matter (wujud lahiriah) dan form (isi kejiwaan). Setiap matter, menurut Aristoteles selalu mengandung form didalamnya, tidak peduli apakah itu biji jagung atau manusia. Hanya Tuhan saja yang merupakan form tampa matter.
Tetapi manusia berbeda dari makhluk-makhluk lainnya mempunyai form yang khusus. Ia mempunyai fungsi mengingat (fungsi mnemic) dan ia mempunyai fungsi realisasi diri (dinamika entelachi) yang menyebabkan manusia bisa berkembang kearah yang dikehendakinya sendiri (Sarwono:1968). Walaupun demikian, Aristoteles tetap beranggapan bahwa hubungan badan (matter) dan jiwa (form) sangat erat, keduanya saling berpengaruh dan erkembang bersama-sama.
Tahap-tahap perkembangan jiwa menurut Aristoteles, yaitu:
0-7 tahun : masa kanak-kanak (infancy)
7-14 tahun: masa kanak-kanak (boyhood)
14-21 tahun: masa dewasa muda (young manhood)
Menurut pendapat Aristoteles jiwa remaja tentang sifat-sifat orang muda yang juga masih dianggap benar sampai saat ini, yaitu:
Orang-orang muda punya hasrat yang sangat kuat dan mereka cenderung untuk memenuhi hasrat-hasrat itu semuanya tampa membeda-bedakannya dari hasrat-hasrat yang ada pada tubuh mereka, hasrat seksuallah yang paling mendesak dan dalam hal inilah mereka menunjukkan hilangnya kontrol diri.
Kontrol diri pada manusia menurut Aristoteles dilakukan oleh ratio (akal), yaitu fungsi mnemic. Ratio inilah yang menentukan arah perkembangan manusia.
Akan tetapi pendapat Aristoteles ini tidak didukung oleh filsuf Prancis J.J Rousseau yang hidup hampir 20 abad kemudian (1712-1778). Rousseau juga disebut penganut paham Romantic Naturalism, menyatakan bahwa yang terpenting dalam perkembangan perasaannya. Perasaan itu harus dibiarkan berkembang bebas sesuai dengan pembawaan alam (natural development) yang berbeda dari satu individu ke individu yang lain (individualisme).
Sejalan dengan pandangannya tentang naturalis development, Rousseau menganalogikan perkembangan indvidu dengan evolusi makhluk (species) manusia. Ia menyatakan bahwa perkembangan individu (ontogeny) merupakan ringkasan perkembangan makhluk (phylogeny). Ada 4 tahapan perkembanagan menurut Rousseau, yaitu:
0-4 atau 5 tahun: masa kanak-kanak (infancy).
5-12 tahun: masa bandel (savage stage).
12-15 tahun: bangkitnya akal (ratio), nalar dan kesadaran diri (self consciousness).
15-20 tahun: masa kesempurnaan remaja dan merupakan puncak perkembangan emosi.
G.S. Hall juga membagi tahapn perkembangan manusia yaitu:
0-4 tahun: masa kanak-kanak (infancy)
4-8 tahun: masa kanak-kanak (childhood)
8-12 tahun: masa muda (youht atau preadolescence)
12-25 tahun: masa remaja (adolescence)
Seperti Rousseau juga, Hall berpendapat bahwa mendidik anak harus dengan cara memberinya kebebasan seluas-luasnya, karena perkembangan jiwa manusia tidak banyak dipengaruhi oleh lingkungannya, melainkan sudah digariskan oleh alam sendiri. Hall bakan mengatakan bahwa remaja boleh mencari jalannya sendiri dan boleh mengkritik orang dewasa. Dari zaman Aristoteles sampai G.S. Hall tampaknya sudah ada kesepakatan tentang adanya kurun usia tertentu yang merupakan peralihan dari masa kanak-kanak ke masa dewasa, tetapi bagaimana proses itu terjadi belum ada penjelasannya.
Petro Blos (1962) adalah penganut aliran psikoanalisis yang menerangkan tahap-tahap perkembangan dalam kurun usia remaja berpendapat bahwa perkembangan pada hakikatnya adalah usaha penyesuaian diri, yaitu untuk secara aktif mengatasi stress dan mencari jalan keluar baru dari berbagai masalah. Ada 3 tahap perkembangan remaja dalam proses penyesuaian diri menuju kedewasaan, yaitu:
a. Ramaja awal : seorang remaja masih terheran-heran akan perubahan-perubahan yang terjadi pada tubuhnya sendiri dan dorongan-dorongan yang menyertai perubahan-perubahan itu.
b. Remaja madya : remaja sangat membutuhkan teman-teman, ada kecenderungan narcistic, yaitu mencintai diri sendiri dengan menyukai teman-teman yang punya sifat-sifat sama dengan dirinya.
c. Remaja akhir : masa konsulidasi menuju priode dewasa
3. ORIENTASI ALAMIAH DAN NALURIAH
Kalau Aristoteles mengaitkan perkembangan jiwa manusia dengan tubuhnya melalui hubungan matter dan form, Plato sebagai penganut “dualisme” sejati memisahkan sama sekali jiwa dari badan. Jiwa sama sekali tidak identik dengan badan dan keduanya berkembang sendiri-sendiri. Jiwa dianggap oleh Plato sebagai suatu zat yang sudah ada sebelum badan sendiri itu ada, kedua zat itu akan bertemu pada saat kelahiran yaitu jiwa akan mengisi badan.
Plato juga dapat digolongkan pada penganjur teori yang berorientasi kepada perkembangan alamiah dan naluriah dari jiwa manusia. Pertama-tama ini menyatakan bahwa anak-anak tidak sama dengan orang dewasa, karena ide-ide yang dibawa anak-anak sejak lahirnya belum berkembang sebagai mana yang terdapat pada orang dewasa. Bagaimana perkembangan ide-ide itu sangat idividual sifatnya dan ditentukan olehh berkembangnya akal orang yang bersangkutan. Oleh karena itu, Plato menganjurkan pendidikan yang membebaskan akal untuk berkembang seoptimal mungkin, seperti membiarkan keingintahuan dan antusiasme yang besar kepada remaja. Bahkan juga membiarkan remaja mengkritik orang tuanya, karena kebutuhan untuk membantah dan berdebat sangat besar pada remaja dalam rangka remaja itu mengembangkan akal dan daya berfikir kritisnya.
Namun kebebasan berkembang pada segi ratio menurut Plato tidak berarti secara fisik anak-anak itu boleh bebas semaunya juga. Mulai umur 6 tahun, anak laki-laki harus mulai dipisahkan dari anak-anak perempuan dan mulai didik menunggang kuda dan mengguanakan tombak, sedangkan anak-anak perempuan dididik untuk menguasai keterampilan-keterampilan kewanitaan. Selanjutnya anak laki-laki dilarang minum anggur sebelum umur 18 tahun karena kegairahan mereka terlalu besar, “api tidak boleh dicampur dengan api”, kata Plato.
Orientasi yang biologis juga dianjurkan oleh Sigmund Frued (1856-1939) dalam teori psikoanalisanya. Frued psikiater asal Jerman ini sudah sangat terkenal dengan teorinya yang sudah mnejadi teori yang klasik. Akan btetapi teori yang mendasarkan diri pada impuls (dorongan) seksual ini agak kurang memperhatikan masa remaja. Tekanannya pada masa balita, yaitu dorongan naluri yang dibawa sejak lahir ditambah dengan pengalaman hubungan dengan orang tua pada masa balita akan sangat mempengaruhi corak kepribadian anak pada masa dewasanya kelak.
Mengenai masa remaja sendiri Frued hanya mengatakan bahwa seksualitas pada remaja dimulai dengan perubahan-perubahan tubuh dan faali yang menimbulkan tujuan baru dari dorongan seks, yaitu reproduksi (keturunan). Tahap ini disebut fase genital, yang merupakan perkembangan terakhir dari tahap-tahap sebelumnya yang belum bertujuan reproduktif.
Fase genital pada masa remaja diwujudkan melalui 3 hal, yaitu:
Melalui rangsangan dari luar terhadap daerah-daerah erogen.
Melalui tegangan-tegangan dari dalam dan kebutuhan faali untuk menyalurkan sekresi seksual
Melalui kegairahan psikologik dan menyebabkanterjadinya dorongan untuk beronani.
Pada masa remaja ini, gejala Oedipoes Complex akan menghilang, karena adanya yang disebut oleh Frued inscest barrier (pengalaman terhadap hubungan seks dengan anggota keluarga sendiri) sebagai gantinya timbullah Oedipoes Complex ke-2 dimana seorang anak laki-laki pada awal usia remajanya lebih tertarik pada wanita( bukan ibunya) yang lebih tua.
Pada remaja, menurut Otto Rank terjadi perubahan drastis dari will, yaitu dari keadaan tergantung pada orang lain (dependence) pada masa kanak-kanak menuju kepada keadaan mandiri (independence) pada masa dewasa.
Tahap-tahap perubahan itu antara lain:
a. Pembebasan kehendak dari kekuatan-kekuatan dari dalam diri sendiri maupun dari lingkungannya yang selama ini mendominasinya.
b. Pemilihan kepribadian (divisiaon in personality)
c. Integrasi antara kehendak dan kontra- kehendak menjadi pribadi yang harmonis.
Kalau Otto Rank menjelaskan masa remaja ini dari sudut pembebasan kehendak dari kontra kehendak dalam menuju terbentuknya kepribadian yang mandiri yang mamu menentukan self-nya sendiri. Erik Erikson, seorang ahli psikoanalisis yang lain mengatakan bahwa manusia sejak lahirnya dihadapkan dalam konflik yang terus menerus dalam rangka pembentukan identitas egonya.
Menurut Erikson ada beberapa tahap-tahap perkembangan dengan konfliknya, yaitu:
a. Percaya (trust) melawan tidak percaya (mistrust).
b. Otonomi lawan rasa malu (shame) dan keraguan (doubt)
c. Inisiatf lawan rasa bersalah (guilt) atau fase locomotor genital.
d. Industrius (hasrat berprestasi) lawan rendah diri inferiority)
e. Identitas lawan kekaburan peran(role diffusion)
f. Keintiman lawan penjarakan (isolation)
g. Kemajuan (generativity) lawan kemandegan (stagnation)
h. Integritas ego lawan kemuakan dan ketidaksenangan.
4. ORIENTASI LINGKUNGAN SOSIAL
Aliran yang lebih menekankan kepada faktor lingkungan dalam menerangkan perkembangan jiwa remaja, disebut juga alairan “empirisme” (empiri: pengalaman),sedangkan yang lebih berorientasi kepada faktor-faktor biologis, alamiah atau bakat dan bawaan disebut aliran “nativisme”.
Salah satu tokoh yang paling terkemuka dali aliran ini adalah John Locke (1632-1704), seorang filsif dari Inggris yang mengemukakkan teori tabula rasa (papan pengumuman tebuat dari lilin). Pandangan Jonh Lock ini merupakan antithesis (pandangan yang berlawanan) dari pandangan yang berlaku diabad pertengahan yang didominasi oleh gereja.
Ada 3 pandangan antithesis John Locke, yaitu:
Seorang ank akan menjadi baik atau jahat tergantung dari pengalaman.
Semua orang dilahirkan sama derajatnya.
Anak secara kualitatif tidak sama dengan orang dewasa.
Allison Davis yang mengemukakan gagasannya tentang “kecemasan yang diasosiasikan” pada tahun 1949. Dalam teorinya Davis menyatakan bahwa remaja berkembang sesuai dengan yang diharapkan oleh lingkungan budayanya. Kepribadiannya dibentuk oleh ggasan-gagasan, kepercayaan-kepercayaan, nilai-nilai dan norma-norma yang diajarkan kepada si remaja oleh lingkungan budayanya.
Dorongan yang menyebabkan remaja mau mengikuti yang dituntut oleh lingkungannya adalah kecemasan akan menghadapi hukuman, ancaman dan tidak adanya kasih sayang dari orang lain. Oleh karena itu teori Allison Davis dinamakan “kecemasan yang diasosiasikan”. Kalau kecemasan itu terlalu berat, akibat yang ditimbulkan adalah hambatan tingkah laku. Remaja yang bersangkutan jadi serba ragu-ragu, serba takut-takut dan tidak berani melakukan sesuayu. Dalam bentuknya yang ekstrim, remaja yang bersangkutan bisa menjurus kepada keadaan cemas yang neorotik (yang sudar tegolong gangguan jiwa). Tetapi pada dosis yang tepat kecemasan itu mendorong remaja untuk lebih bertanggung jawab, hati-hati dan menjaga tingkah lakunya agar selalu sesuai dengan norma-norma. Remaja jadinya dapat bertingkah laku normal sesuai dengan yang diharapkan oleh masyarakat.
Tokoh lain yang juga beraliran sosial-budaya adalah James S. Coleman. Tokoh ini tergolong tokoh yang relatif baru, karena karya-karya baru diterbitkan sekitar tahun 1960-1965. Ia tampil dengan teorinya tentang youth culture (budaya anak muda), yang didasarkan pada pengamatannya terhadap anak-anak muda di Amerika Serikat pada saat itu yang berbeda (menyimpang) pola prilakunya dari yang lazim terdapt kalangan orang dewasa. Remaja pada masa itu tampil dengan kelakuan-kelakuan seperti rambut gondrong, pakaan compang-camping, menamakan diri “generasi bunga”, menyukai lagu-lagu rock, mempercayai mistik dari India, melakukan hubungan seks pranikah,dan lain-lain. Gejala ini berlanjut sampai tahun 1970-an dan belakangan berkembang menjadi gerakan politik seperti demonstrasi menentang perang vietnam, demonstrasi anti penguasaan dan lain-lain.
Menurut Coleman, par remaja sadar akan pentingnya kebudayan sebagai tolak-ukur terhadap tingkah laku sendiri. Kebudayaan memberikan pedoman, arah, persetujuan, pengingkaran, dudkungan, kasih sayang dan perasaan aman kepada
Tetapi Coleman juga menemukan bahwa ada beberapa kelompok anak muda yang menekankan pada prestasi sekolah. Coleman menemukan bahwa nilai yang dominan diantara mereka adalah nilai-nilai ulangan semata. Terjadi persaingan untuk mendapai nilai bagus dan hanya yang terbaik dalam angka ulangan yang terdapat penghargaan dari teman-temannya. Ini membuktikan bahwa budaya anak muda tidak selalu terkait dengan lingkungan budaya lain, termasuk dengan lingkungan budaya anak muda ini pada umumnya.
5. ORIENTASI KONVERGENSI
Aliran nativisme dan aliran empirisme ditengahi oleh aliran konvergensi, yaitu yang berorientasi pada pembawaan yang diberikan oleh alam dan pada pengalaman. William Stern (1871-1938), misalnya adal tokoh yang percaya bahwa jiwa manusia dibentuk berdasarkan bekal yang dibawa sejak lahir maupun oleh pengalaman yang diperolehnya dalam kehidupan selanjutnya
Dalam psikologi perkembangan, salah satu penganut aliran konvergensi ini yang mengajukan pendapatnya diawal tahun 1970-an adalah Robert Havighurst (1972). Ia mengamukakan suatu teori yang dinamakan teori tugas perkembangan . dalam teori ini dikatakan bahwa setiap individu, pada setiap tahapan usia mempunyai tujuan untuk mencapai suatu kepandaian, keterampilan, pengaetahuan, sikap dan fungsi tertentu, sesuai dengan kebutuhan pribadi yang timbul dari dalam dirinya sendiri (faktor nativisme) dan tuntutan yang datang dari masyarakat disekitarnya (faktor empirisme).
Pada remaja tugas perkembangan itu, menurut Robert Havighurst adalah:
Menerima kondisi fisiknya dan memanfaatkan tubuhnya secara efektif.
Menerima hubungan yang lebih matang dengan teman sebaya dari jenis kelamin manapun.
Menerima peran jenis keklamin masing-masing.
Berusaha melepaskan diri dari ketergantungan emosi terhadap orang tua dan orang dewasa lainnya.
Mempersiapkan karir ekonomi.
Mempersiapkan perkawinan dan kehidupan berkeluarga.
Merencanakan tingkah laku sosial yuang bertanggung jawab.
Mencapai sistem nilai dan etika tertentu sebagai pedoman tingkah lakunya.
Kata Robert selanjutnya, tercapai atau tidaknya tugas-tugas perkembangan diatas ditentukan oleh 3 faktor, yaitu:
Kematangan fisik.
Desakan dari masyarakat.
Motivasi dari individu yang bersangkutan.
Salah satu kelompok teori yang juga dapat digolongkan dalam teori konvergensi adalah teori-teori psikologi kognitif. Teori-teori ini mempelajari tentang perkembangan kesadaran (kognisi) individu dan mengaitkannya dengan rangsang-rangsang yang datang dari luar. Kurt Lewin (1890-1947) mengemukan teori lapangan (field theory). Dalam teorinya Lewin menggambarkan kesadaran sebagai sebuah lapangan yang dinamakan lapangan psikologik (psychological field).
Pada anak-anak kecil, wilayah-wilayah dalam lapangan psikologik itu masih sangat terbatas, karena pengalaman-pengalaman meraka yang belum banyak. Wilayah-wilayah itu berkembang dan bertambah banyak dengan bertambahnya usia. Pada orang orang dewasa, wilayah-wilayah itu sudah sangat rumit, tetapi pola gerak dari dorongan-dorongan sudah teratur karena pagar-pagar pembatasnya sudah menebal dan makin sukar ditembus.
Berdasarkankan teorinya tersebut diatas, kurt Lewin menggambarkan tingkah laku yang menurut pendapatnya akan selalu terdapat pada remaja.
1. Pemalu dan perasa, tetapi sekaligus juga capat marah dan agresif sehubungan belum jelasnya batas-batas antara berbagai sektor di lapangan psikologik remaja.
2. Ketidakjelasan batas-batas ini menyebabkan pola remaja terus menerus merasakan pertentangan antar sikap, nilai ,ideologi, dan gaya hidup.
3. Konflik sikap, nilai dan idiologi tersebut diatas muncul dalam bentuk keteganan emosi yang meninngkat.
4. Ada kecenderungan pada remaja untuk mengabil posisi posisi yangsangat extreme dan mengubah kelakuannya secara drastis , akibatnya sering muncul tingkahlaku radikal dan memberontak dikalangan remaja.
5. Bentuk bentuk khusus dari tingkah laku ramaja remaja pada berbagai individu yang berbeda akan sanagat ditentukan oleh sifat dan kekuatan dorongan dorongan yang saling berkonflik tersebut tersebut di atas.
Berbeda dari Lewin, J. Pieget mencoba melihat kesadaran manusia sebagai suatu yang berdiri sendiri, terpisah dari rangsangan luar, tetapi terus menerus berinteraksi dengan dunia luar. Dalam usahanya mempelajari perkembangan tingkat kognitif manusia, pieget yang sebelum menjadi filsuf dan psikolog, membagi tahap-tahap perkembangan kognitif manusia, yaitu:
1. Tahap sensorik-motorik (0-2 tahun). Pada tahap yang paling awal ini, organ-organ tubuh manusia dipergunakan untuk bisa menangkap rangsang-rangsang dari luar (melalui inderanya) dan bereaksi terhadap rangsang-rangsang tersebut (melalui alat-alat motorik).
2. Tahap pra-operasional (2-7 tahun). Pada masa ini anak sudah bisa membuat simbol-simbol untuk mewakili berbagai macam objek. Kata “pisau”atau “pensil” dimengerti oleh anak sebagai wakil dari benda-benda yang termaksud, walaupun benda itu pada saat tersebut itu berada di tempat di mana anak berada (jadi anak tidak bisa mempersepsikannya).
3. Tahap kongkrit operasional (7-11 tahun). Pada tahap ini anak sudah mampu membuat hubungn-hubungan yang rumit melalui kegiatan mentalnya, misalnya memahami hubungan timbal balik anak bisa berhitung dengan benar walaupun posisi benda-benda yang di hitung di ubah-ubah, anak sudah mampu mengenal proses dari suatu peristiwa yang terjadi.
4. Tahap formal-operasional (11 tahun-dewasa). Tahap ini adalah tahap puncak, di mana anak mencapai kemampuan untuk berpikir sistematik terhadap hal-hal yang abstrak.
Menurut Kohlberg, tahap-tahap perkembangannya sebagai berikut:
1. Tahap pra-konvensional (0-5 tahun)
Pada tahap ini, anak nelum mengetahui sama sekali tentang aturan-aturan yang ada dan untuk mengajar anak untuk dapat membedakan mana yang baik dan yang buruk, yang sopan dan yang tidak sopan, yang adil dan yang tidak adil, maka orang tua mendidik anak dengan sistem hukuman dan ganjaran. Pada tahap ini ada 2 sub tahap, yaitu:
Orientasi hukuman menurut (punishment obedience orientation), yaitu anak akan menurut dan menyesuaikan kelakuannya kalau ia mendapat hukuman.
Orientasi pertukaran instrumental (instrumental exchange orientation).
2. Tahap konvensional
Pada saat anak mulai masuk tahap “kongkrit operational” (piaget), menurut Kohlberg seharusnya ia bisa melakukan asosiasi-asosiasi yang kongkrit untuk membedakan tingkah laku yang baik dengan yang jelek. Ia sudah bisa mulai memahami konvensi (aturan, norma) yang berlaku tampa ia memerlukan hukuman fisik maupun non fisik lagi. Dalam tahap ini ada 2 sub tahap, yaitu:
Orientasi anak baik-anak nakal yang terjaadi natar usia 6-11 tahun, dimana anak mengukur tingkah lakunya dengan berorientasi pada apa yng lazim dianggap baik dan tidak melakukan apa yang dianggap kurang baik.
Orientasi menjaga sistem. Pada usia remaja (12-20 tahun) tingkah laku moral ditujukan untuk mempertahankan norma-norma tertentu.
3. Tahap pra-konvensional(masa dewasa)
Kalau sampaidengan masa remaja perkembangan moral masih terikat pada situasi-situasi yang kongkrit dan diukur dengan norma-norma yang relatif baku, usia dewasa tolak-ukurnya sudah lebih bersifat umum dan kuat. Orang dewasa sudah tidak berp[edoman pada konvensi-konvensi itu memang dianggapnya bisa berfungsi untuk tahapan yaang lebih luas. Dalam tahap ini ada 2 sub tahapnya, yaitu:
Orientasi kontrak-sosial. Dalam tahap ini orang sudah memahami bahwa moral adalah untuk menjaga tatanan masyarakat agar tidak ada orang yang dirugikan untuk kesenangan orang lain atau dikorbankan untuk kegembiraan orang lain atau dikekang untuk kebebasan orang lain,
Orientasi prinsip: etika universal. Pada tahap ini seseorang tidak lagi terpengaruh oleh situasi atau kondisi yang kongkrit dan bersifat sesaat.
Tahap-tahap diatas tidak selalu tercapai seluruhnya oleh setiap orang. Sebagaiman halnya dengan perkembangan kognitif dimana bisa saja terjadi seorang yng sudah berusia dewasa tetapi perkembangan kognitifnya terhenti pada tahap kongkrit operasional, pada perkembangan moral ini pun bisa terjadi orang-orang dewasa yang berhenti perkembangan moralnya pada tahap”orientasi anak baik-anak nakal”.